Mengulur Waktu, Menebus Dosa di Jalur Laut Utara
Perahu nelayan Tangkolak dan gugusan modul paranje Otak Jawara PHE ONWJ--
KARAWANG - Nanang kecil duduk di samping ayahnya. Matanya setengah terpejam. Satu tangannya meraba selang kompresor yang dingin, tangan yang lain berpegangan ke dinding kayu perahu yang amis dan catnya mulai mengelupas. Dari pojok perahu, radio butut berderak, suaranya putus-putus diterpa ombak, kadang hanya tersisa potongan lagu lawas yang terpotong angin laut. Hari itu, untuk pertama kalinya Nanang diajak ayahnya bersama para kuli angkut. Ia melihat orang dewasa mencari uang dengan berlayar lima hingga sepuluh kilometer meninggalkan daratan menuju Gugus Terumbu Karang Sendulang. Mereka berburu ikan hias, memecah karang hidup dan bertaruh nyawa menyelami Laut Jawa, tempat ombak menjelma pusara yang penuh harta karun kapal tenggelam.
Di subuh yang rawan kabut itu, di muara Tangkolak, mesin perahu-perahu nelayan dibunyikan pendek, sekadar salam pada laut. Dari arah timur laut, matahari mulai naik. Fajar tiba, kusam pasir pantai menjelma kilau tembaga pucat, berkilat samar serupa kaca tipis yang terlapisi embun. Laut Jawa membentang, terbagi menjadi dua lapis warna, cokelat keruh yang kaya sedimen dan biru kehijauan yang menyembunyikan bangkai kapal, terumbu karang, dan rahasia Dewi Lanjar. Di atasnya perahu-perahu kecil bergerak pelan memecah gelombang, sebagian menunggu arus. Sebagian nelayan baru mengangkat kompresor angin ke geladak perahu sebagai pengganti tabung oksigen.
“Saya baru lulus SD,” kenang Nanang Sai, lelaki yang lahir tahun 1975 dan kini genap berusia 50 tahun. “Waktu itu saya masih bantu-bantu ayah jadi kuli angkut karang. Ada yang mau bangun rumah, butuh pondasi. Kalau dihitung saat ini, diupah sekitar lima puluh ribu," tambah Nanang yang tengah berdiri menghadap laut dari markas Pandu Alam Sendulang (PAS), Senin (8/9/2025).
Ia masih ingat jelas, di masa itu hampir semua rumah di Dusun Tangkolak, Desa Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan, berdiri di atas pondasi batu karang. Bukan karena gaya, melainkan karena kebutuhan, dan sudah dilakukan sejak dulu.
“Akses jalan dulu jelek, batu kali susah didapat. Jadi kami pakai batu karang. Katanya kuat,” ujarnya. Karang-karang besar di dasar laut dangkal diambil pakai linggis, menyelam manual tanpa alat, kadang bernapas dengan kompresor angin hasil modifikasi turun temurun bila air laut sedang naik.
“Enggak terlalu dalam, rata-rata satu meter, kalau air naik, kadang empat meter. Sekali turun bisa dapat tiga sampai empat kubik. Sebelum perahu tenggelam oleh beban, kami terus angkut. Itu sudah jadi kerjaan sehari-hari. Saya ikut jadi kuli angkut karang, dari masih kecil. Keluarga saya kurang mampu, apa saja asal jadi uang," tambah Nanang, sedikit tertawa.
Nanang sendiri sempat merasakan kerasnya teknologi seadanya. Kompresor tambal ban, dengan selang panjang dan corong mulut, dipakai untuk menyelam, mengganti tabung oksigen. “Itu susah dipakai. Kalau tekanannya kurang, kita bisa kehabisan napas. Saya paling berani empat meter, kuping sakit. Tapi ada yang sampai puluhan meter. Banyak yang pingsan, ada yang kram hingga meninggal,” ujarnya.
Seiring waktu, lanjut Nanang bercerita, kabar lain datang entah dari mana. Bukan hanya untuk karang, kompresor itu membuka jalan pada pola baru, perburuan harta karun. Seperti api kecil di malam gelap, berita tentang peti koin, fragmen keramik, dan emas yang ditemukan di dasar laut saat berburu karang, menyebar dengan cepat. Tangkolak mendadak dikenal sebagai kuburan kapal, tiba-tiba jadi magnet. Pemburu harta karun berdatangan dari berbagai daerah, menempuh perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer mencari titik-titik Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).
"Mereka juga sama, pakai kompresor angin. Bisa menyelam hingga puluhan meter. Warga ikutan berburu juga, tapi jaraknya jauh, di tengah," terang Nanang sembari menunjuk ke arah laut. "Pemburu harta biasanya berkelompok di satu kapal. Bisa lima orang, atau empat orang, menyelam seharian sampai malam," tambah Nanang.
Beberapa nelayan, Nanang mengerutkan mata, pulang membawa karung goni basah. Saat diturunkan di pasir pantai, terdengar suara logam beradu dari dalamnya, bercampur dengan desir angin laut. Lampu petromaks yang digantung di tiang bambu bergerak-gerak diterpa angin, cahayanya memantul pada wajah para lelaki yang setengah percaya, setengah takut.
Nanang terdiam sebentar, lalu menambahkan dengan suara yang lebih rendah. “Dulu itu ada yang laku sampai miliaran. Guci, tempat buah, emas dan semua yang masih utuh, hampir satu mobil barangnya. Kalau yang retak atau pecah, harganya murah. Orang sini yang nemu biasanya langsung jual ke pengepul. Tinggal bilang, saya mau jual barang-barang ini. Ada yang diangkut pakai karung. Ada juga yang cuma dibawa seadanya dari dasar laut."
Cerita-cerita semacam itu semakin menguatkan keyakinan warga Tangkolak. Bagi Nanang, yang tumbuh besar dengan kisah turun-temurun, harta karun di dasar laut tak pernah dianggap dongeng belaka. Orang-orang tua di kampungnya percaya, benda-benda yang kadang terangkat ke permukaan berasal dari kehidupan jauh di masa lampau. Dalam tuturan mereka, nama-nama besar kerap disebut, kapal-kapal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perahu dagang dari Dinasti Ming dan Qing yang terbawa arus hingga Jawa, bahkan kisah perompak dari Filipina yang menebar teror di laut utara. Semua itu melekat di ingatan, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti ombak yang tak pernah berhenti menyapu bibir pantai.
Keyakinan itu menemukan pantulannya dalam riset arkeologi. Dalam artikel Arti Penting Situs-Situs Pelabuhan Kuna di Karawang, Jawa Barat sebagai Jalur Transportasi (Libra Hari Inagurasi, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Purbawidya, Vol. 5, No. 2, November 2016), Tangkolak disebut sebagai bagian penting jalur niaga kuno di pesisir utara Jawa. Di pantai yang landai dan dangkal itu menyimpan jejak tinggalan arkeologi, potongan kayu dari dasar laut yang, menurut analisis pertanggalan Pusat Survei Geologi, berasal dari abad ke-13. Temuan lain berupa lampu kapal abad ke-19 memperkuat tafsir bahwa pantai-pantai Karawang, termasuk Tangkolak, pernah menjadi dermaga alami tempat kapal berlabuh. Karena kaya temuan bawah air, Tangkolak pun dikategorikan sebagai situs tinggalan bawah air.
Empat tahun berselang, bukti lain datang dari Situs Karang Bui, hamparan dangkal pada kedalaman lima hingga dua belas meter di perairan Karawang, sekitar lima belas hingga dua puluh kilometer dari Tangkolak. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Amerta (Gemilang dkk., 2020) mencatat beragam artefak seperti koin, meriam, jangkar, hingga fragmen keramik yang diduga bagian dari muatan kapal karam era VOC. Analisis topografi dasar laut bahkan memperlihatkan kontur menyerupai rangka kapal yang terkubur sebagian oleh pasir. Lokasi ini kemudian dikategorikan sebagai situs tinggalan bawah air oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), dan statusnya diakui pula oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut.
Rangkaian temuan itu seakan menjadi penanda bisu bahwa jalur laut utara Jawa, termasuk Karawang, bukan hanya lintasan perdagangan internasional, tetapi juga kuburan bagi kapal-kapal yang tak pernah sampai ke pelabuhan tujuan.
Sejarah maritim itu makin pekat jika disandingkan dengan catatan geologi. Pada 1862, Karawang diguncang gempa besar yang meninggalkan kerusakan luas. Peristiwa itu kembali diingatkan oleh Direktur Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr. Daryono, dalam unggahan resminya pada 24 Agustus 2025.
“Berdasarkan kajian BMKG, gempa ini diperkirakan memiliki magnitudo sekitar M5,8. Kejadian tersebut diduga kuat dipicu oleh aktivitas Sesar Baribis—kini dikenal sebagai Sesar Naik Busur Belakang Jawa Barat (West Java Arc Thrust),” tulis Daryono. Unggahan itu muncul setelah rangkaian gempa kembali terasa di Karawang beberapa hari sebelumnya.
Dengan demikian, lautan Karawang bukan sekadar ruang ekonomi bagi nelayan. Ia juga hamparan rapuh yang menyimpan pusara kapal dari jalur maut, jejak pelabuhan kuno, sekaligus panggung alam yang mudah berguncang. Ombak, arus, dan sesar bumi seakan bersekongkol menelan kapal, muatan, bahkan nyawa manusia. Tertinggal luka yang kini masih bisa disentuh lewat pecahan keramik, potongan kayu, dan bisik ombak yang terus berulang.
Namun, bagi warga Tangkolak, bahaya itu tak hanya lahir dari sejarah dan geologi. Ada lapisan lain yang tak kasatmata. Di sana, tepat di laut yang sama, terjaga keyakinan lama bahwa perairan Tangkolak adalah gerbang menuju kerajaan gaib. Sebuah gugusan karang yang menyerupai sosok anjing duduk dipercaya sebagai pintu, dan hanya bisa dilintasi dengan tata krama. “Kalau melewati kami selalu ucap sopan, memohon izin, karena kan kita numpang usaha,” ujar Nanang.
Kepercayaan ini tetap hidup hingga hari ini. Setiap malam Jumat Kliwon, nelayan yang melaut akan menyimpan sesaji di sisi bagan yang menghadap darat. Dalam tuturan orang tua Nanang, tersimpan kisah tentang sosok penunggu bertubuh tinggi besar, menyerupai genderuwo, yang datang hanya untuk mencium aroma sesaji, tak pernah memakannya.
“Pernah ada yang hilang, sampai sekarang tak pernah ditemukan, sudah lebih dari dua puluh tahun,” kenangnya lirih. “Perahunya masih ada, tapi orangnya lenyap. Dia terakhir terlihat ikut membantu nelayan memasang bagan, lalu lenyap.”
Kepercayaan mistis ini pun menautkan Tangkolak dengan lanskap budaya pesisir utara Jawa yang lebih luas. Di Pekalongan, misalnya, sosok Dewi Lanjar dikenal sebagai penguasa laut utara, seorang putri bernama Rara Kuning yang menurut legenda ditugaskan Kanjeng Ratu Kidul menjaga kawasan pesisir. Di Tangkolak, kisah penunggu karang berbentuk anjing duduk seakan menjadi pantulan lokal dari imajinasi yang sama, laut sebagai ranah gaib, dijaga penguasa tak kasatmata.
Tetapi, di luar kisah pusaka dan mitos, laut Tangkolak tetaplah ruang hidup. Bagi warga, ia adalah ladang nafkah, meski caranya sering melukai ekosistem. Ombak yang diyakini menyimpan roh penunggu, pada saat bersamaan juga membawa rezeki.
Mulanya, Nanang melanjutkan, kebiasaan itu sederhana saja. Patahan terumbu karang yang terdampar atau dicungkil dari dasar laut, berukuran tiga hingga sepuluh sentimeter, sering dibawa pulang untuk mempercantik rumah. Ada yang menanamnya di pekarangan, ada pula yang menggantungnya di dekat pintu sebagai hiasan. Karang putih yang keras itu dipercaya bukan hanya indah, tapi juga membawa kesan kuat dan sejuk, seperti laut yang mereka hadapi saban hari.
Lambat laun, kebiasaan sederhana itu berubah menjadi mata pencaharian. Semakin banyak warga yang mencungkil karang-karang unik, ada pula yang beralih menjadi pengepul. Karang tak lagi sekadar penghias rumah, melainkan dikirim ke luar kota. Dari Tangkolak, ia menempuh perjalanan jauh ke Jakarta, dipasarkan sebagai hiasan rumah dan pelengkap akuarium.
“Saya dulu jadi anak buah kapal pengepul karang, pernah ikut nyongkel,” kenang Nanang. “Di sini ada yang nampung, lalu dijual ke Jakarta. Banyak yang minta terumbu karang yang unik-unik untuk hiasan akuarium. Dulu belum ada larangan. Karang melimpah, yang hidup, yang mati, semua laku dijual ke pengepul. Itu jadi pendapatan baru.”
Seingatnya, hingga akhir 1990-an, puluhan, mungkin ratusan kubik karang di perairan Tangkolak telah dikeruk. Hampir semua nelayan pernah ikut, meski hanya sekali atau dua kali. “Dulu saya pernah berangkat beberapa kali ke Jakarta. Ada orang di sini yang nampung, setelah banyak baru dijual. Berapa harga pastinya saya kurang tahu.”
Saat itu yang tertinggal di Tangkolak bukan sekadar uang dari hasil jual karang, melainkan juga jejak luka di tubuh laut. Dasar perairan yang dulu rapat oleh gugusan karang perlahan berubah bopeng, ikan-ikan yang biasa bersembunyi kehilangan rumah, dan arus membawa pasir menimbun bekas congkelan.
Namun apa yang terjadi di Tangkolak hanyalah potongan kecil dari arus besar yang melanda dunia pada dekade 1980 hingga 1990-an. Saat itu, hobi akuarium laut tumbuh pesat di kota-kota besar dunia. Permintaan karang hidup, ikan hias, dan batu karang yang masih ditumbuhi organisme melonjak drastis.
Indonesia pun terseret deras ke dalam arus itu. Dari ujung timur hingga barat nusantara, karang hidup diangkat, dikemas dalam boks stirofoam, lalu diterbangkan ke berbagai negara. Di Karawang, patahan-patahan karang yang semula hanya digantung di pintu rumah atau ditanam di pekarangan, tiba-tiba punya harga di pasar global.
Fenomena ini bukan hanya cerita kampung. Dalam sebuah esai penting berjudul “The New Threat to Coral Reefs: Trade in Coral Organisms” yang diterbitkan di Issues in Science and Technology (2000), ilmuwan karang Andrew W. Bruckner menunjukkan bagaimana Indonesia menempati pusat pusaran perdagangan ini. Ia menulis, lebih dari 800 spesies ikan karang dan ratusan jenis karang serta invertebrata diekspor setiap tahun untuk memenuhi pasar akuarium dunia. Sebagian besar ikan berasal dari terumbu karang Filipina dan Indonesia, yang disebutnya sebagai wilayah laut dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sementara sebagian besar karang batu berasal dari Indonesia.
Bruckner menegaskan, Indonesia adalah pengekspor organisme terumbu karang terbesar di dunia. Ironisnya, di balik status itu, praktik penangkapan ikan dengan bahan peledak, sianida, hingga penambangan karang hanya menyisakan lima hingga tujuh persen terumbu karang Indonesia pada tahun 1996 yang masih memiliki tutupan sangat baik. Ia bahkan mencatat, Indonesia mengekspor sekitar 900.000 karang batu setiap tahun ke pasar Amerika Serikat, dan berbagai negara lain.
Pasar globalnya sendiri bernilai sangat besar. Laporan lain yang dikutip Bruckner menyebutkan, pada akhir 1990-an perdagangan karang hidup untuk akuarium mencapai lebih dari 15 juta spesimen per tahun, dengan nilai ratusan juta dolar. Sekitar 90 persen pasokan dunia berasal dari Asia Tenggara, dan Indonesia menjadi pemasok utama.
Pengalaman Nanang ikut mengirim karang-karang Tangkolak yang diangkut ke Jakarta, bertaut langsung dengan pasar global yang menjadikan karang Indonesia sebagai komoditas utama. Dari patahan putih di pekarangan rumah nelayan, hingga karang-karang yang berjajar di akuarium Amerika, alur itu diam-diam menyambung. Cerita Nanang menjadi semacam gema kecil dari pusaran raksasa itu. Bagi nelayan, karang adalah batu laut yang bisa dijual cepat. Sementara bagi pasar global, ia adalah komoditas eksotis yang mempercantik akuarium.
Namun, di balik kesibukan dan keuntungan itu, Nanang mulai menyadari dampak yang perlahan terasa. “Kebanyakan orang enggak sadar,” ujarnya sambil menatap laut. “Kebanyakan mencari ikan di tepian, tapi tiap tahun mulai berkurang."
Ia menyebutkan satu per satu, seakan mengingatkan pada keseimbangan yang hilang. Laut yang memberi kehidupan sekaligus penghidupan, perlahan menunjukkan tanda-tanda kelelahan. "Barramundi, ikan senangi, ikan barracuda, talang-talang, kue, ikan ekor kuning, badungan, kerapu, rajungan. Semua yang dulu mudah didapat kini mulai susah."
Kesadaran itu, meski samar, sudah mulai tumbuh di benak para nelayan Tangkolak. Nanang menyebut satu per satu nama ikan yang dulu berlimpah, kini semakin jarang ditemui. Laut yang memberi kehidupan sekaligus penghidupan perlahan menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Tetapi nelayan tak pernah tahu harus berbuat apa. Mereka hanya bisa menyimpan kegelisahan itu dalam hati, sampai satu perjumpaan membuka jalan baru.
Pada 2016, seorang penyelam dari Dinas Perikanan Karawang bernama Ade Komarudin datang ke Tangkolak. Ia bukan nelayan, bukan pula pemburu harta karun. Ade turun ke laut dengan mata orang luar, terbiasa mendokumentasikan, bukan mencari nafkah. “Dulu itu ada gosong, semacam pulau kecil dari tumpukan karang mati yang timbul tenggelam. Saya kira hanya pasir, ternyata karang. Tapi sebagian besar sudah mati,” kenangnya, Kamis (11/9/2025).
Dengan kamera di tangan, Ade menyelam. Dari balik kekeruhan, muncul pemandangan yang membuatnya tertegun, karang masif menyerupai otak, sebagian hidup, sebagian rapuh. Sesekali ikan badut, ekor kuning, bahkan belut laut, menampakkan diri di celah-celah. Tangkolak, yang selama ini hanya dipandang nelayan sebagai ladang tangkap, dan perburuan karang ternyata masih menyimpan denyut ekosistem. Temuan itu ia bawa ke rekan-rekan komunitas penyelam, lalu ia tanyakan pada kolega peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Saya bilang ke warga, karang di sini jauh lebih berharga kalau tetap dibiarkan hidup. Bisa jadi rumah ikan, bahkan jadi wisata,” ujar Ade.
Setahun berselang, penglihatan Ade menemukan titik temu dalam kajian ilmiah. Rafdi Fadhli dan Tjiong Gok Pin dari Universitas Indonesia, lewat tulisan di Jurnal Geografi Lingkungan Tropik (2018), memetakan kondisi terumbu karang Karawang dengan citra satelit Sentinel 2A. Mereka menemukan 11 titik sebaran karang di perairan Karawang, Sebagian besar di perairan Tangkolak. Dari total area sekitar lima ribu hektare, sayangnya hanya sekitar 158 hektare yang benar-benar ditutupi terumbu.
Kondisi karang di seluruh titik sebaran pun tidak seragam. Tutupan karang hidup rata-rata hanya 25–35 persen, tergolong sedang hingga rendah. Sebagian besar berupa karang masif, jenis yang besar dan keras, bertahan di tengah arus lumpur dan sedimen. Sementara itu, karang bercabang seperti akropora dan karang api banyak yang patah, rapuh, atau terkubur pasir. Hanya di dekat Gosong Sendulang dan lepas Sedari, segelintir karang masih menunjukkan wajahnya yang relatif baik.
Data-data ini memberi jejak ilmiah pada apa yang sebelumnya hanya bisik-bisik nelayan dan catatan Ade. Tangkolak bukan hanya menyimpan karang, melainkan juga menyimpan luka eksploitasi yang besar.
Covid-19 melanda, membawa keheningan aneh di pesisir Tangkolak. Perahu-perahu lebih jarang berangkat, jalan kampung terasa lengang. Warung kopi yang biasanya ramai dangdut koplo dari pengeras suara portabel, mendadak sunyi. Nelayan menatap laut dengan cemas, bukan hanya takut penyakit, tapi juga takut lapar. Laut seperti mendapat kesempatan untuk bernapas.
Di tengah sunyi itu, justru kabar tentang laut kembali mencuat, bukan soal ikan, melainkan tentang harta karun di dasarnya. Pada Juni 2020, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan datang ke Karawang. Di hadapan Bupati Cellica Nurrachadiana, diumumkan rencana mendirikan Galeri BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam). Guci, piring, dan mangkuk hasil temuan nelayan akan dipindahkan ke Bale Indung Nyi Pager Asih. Pemerintah menyebutnya wisata edukasi, pusat informasi sejarah kelautan, ruang belajar bagi pelajar hingga mahasiswa.
“Bisa jadi pusat pengetahuan sejarah maritim Karawang,” ujar Bupati Cellica kala itu.
Namun bagi Ade, kabar itu seperti pisau bermata dua. Ia paham nilai sejarah, tapi juga mencium bahaya. “Yang ditakutkan, orang kembali mengira dasar laut itu tempat harta, bukan bagian ekosistem yang harus dijaga,” katanya. BMKT, kata Ade, bisa jadi magnet baru bagi pemburu, mengulang luka lama pada karang Tangkolak.
Setelah itu, jejak Ade mulai meredup. Pandemi membuat laut makin sepi, kampung Tangkolak masuk dalam masa senyap. Kesadaran yang sempat menyala kecil padam tertiup angin. Karang yang bopeng tetap bopeng. Nelayan masih bergantung pada kompresor, dan laut tetap menanggung beban diam-diam.
Hingga pada tahun 2022, bara itu kembali ditiup. Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), masuk ke Tangkolak. Mereka tak datang sebagai pemburu, mereka membawa satu ide sederhana yang sulit, mengubah pemburu karang menjadi penjaga karang.
Dari pertemuan itulah, muncul nama-nama baru, Dama Saputra dan kawan-kawan yang berhimpun dalam kelompok Pandu Alam Sendulang (PAS), menggandeng peneliti karang dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Institut Pertanian Bogor (IPB), dan menamai programnya Otak Jawara alias Orang Tua Asuh Karang di Laut Utara Jakarta dan Jawa Barat.
Di atas kertas, program ini tampak seperti jargon Corporate Social Responsibility (CSR). Di lapangan, ia menuntut hal paling berat yakni, mengubah kebiasaan, memberi alternatif, dan menunggu alam bekerja pada kecepatannya sendiri.
Associate Monitoring Pemulihan Environmental PHE ONWJ, Ahmad Salman Alfarisi mengatakan, Program Otak Jawara ini fokusnya pada pembuatan modul bernama paranje. Salman menjelaskan itu adalah media transplantasi terumbu karang seperti yang sudah pernah dilakukan tahun 2016 hingga 2018 di Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Modul ini bertujuan untuk mengembalikan ekosistem terumbu karang.
"Di tahun 2022, kami melakukan perluasan program, kami masuk ke Karawang, khususnya daerah Tangkolak, di Desa Sukakerta, bertemu dengan kelompok Pandu Alam Sendulang yang diketuai mas Dama," papar Salman, Senin (8/9/2025) lalu
Bersama dengan peneliti karang dari PPLH IPB, PHE ONWJ bersama PAS, Dama dan kawan-kawan melakukan pembuatan ratusan modul, untuk memulihkan ekosistem terumbu karang di Tangkolak, sekaligus rumah bagi ikan.
"Bentuknya mirip kandang ayam anyaman. Paranje dirancang kokoh, dibuat dengan campuran pasir dan semen dengan rangka dari jaring besi. Bobotnya bisa enam puluh hingga tujuh puluh kilogram. Dengan berat itu, paranje mampu bertahan dari ombak. Rongga-rongga pada paranje bisa dimanfaatkan ikan sebagai ruang bertelur, permukaannya jadi tempat transplantasi fragmen karang," terang Salman.
Salman bercerita, saat di Pulau Biawak, modul yang dibuat oleh PHE ONWJ sempat mengalami kekurangan. "Saat modul diletakkan itu gampang terguling. Modul di Karawang ini merupakan penyempurnaan karena bisa bertahan di aliran air bawah laut, dan tidak terguling,” tambah Salman.
Salman juga mencatat perjalanan empat tahun terakhir program Otak Jawara di Tangkolak. Sebanyak 420 modul paranje telah disimpan dan mulai menjadi rumah buatan bagi biota laut. Dari modul-modul itu, lebih dari 3.400 fragmen karang ditransplantasi dan kini menutup area seluas 0,28 hektare. Dari bibir pantai, jarak transplantasi paranje ini berkisar di antara empat hingga enam kilometer.
PPLH IPB, PHE ONWJ bersama PAS, dari catatan Salman, berhasil menumbuhkan kembali beragam bentuk karang, di antaranya Acropora branching (ACb), karang cabang yang bercabang halus menyerupai pohon kecil. Kemudian Acropora tabulate (ACT) yang berbentuk seperti meja pipih, Acropora submassive (ACS) yang mirip dengan ACb namun memiliki diameter lebih padat besar dan padat. Selain itu, ada juga Coral branching (CB), Coral massive (CM), Coral encrusting (CE), dan Coral foliose (CF) yang menjadi fondasi utama ekosistem.
Seiring karang yang tumbuh subur, kehidupan laut pun kembali ramai. Dari hasil pemantauan, kini sudah lebih dari 30 jenis ikan terlihat mendiami area terumbu buatan itu. Ikan-ikan kecil seperti sersan mayor berenang berkelompok di atas modul, lincah dan tak pernah diam. Di sela anemon, ikan badut sesekali muncul, lalu cepat bersembunyi lagi.
Tak jauh dari sana, warna mencolok ikan kupu-kupu karang membuat pemandangan kian hidup, sementara ikan kakatua sibuk menggigiti alga, seolah-olah menjadi tukang kebun yang menjaga kebersihan karang. Ada juga kawanan chromis atau ikan betok laut berwarna hijau toska yang bergerak serentak seperti gumpalan awan.
Beberapa spesies unik turut memberi warna, seperti ikan bendera dengan sirip menjulang. Sesekali tampak ikan kakap melintas, sementara ikan betok laut berwarna kuning berukuran kecil dengan galak mempertahankan wilayahnya. Di antara semua itu, ikan napoleon wrasse bulan menari dengan kilau biru-hijau yang memantulkan cahaya matahari.
Nama-nama itu mungkin terasa asing, tetapi di dasar Tangkolak, mereka adalah denyut kehidupan yang kembali. “Setiap kali kami turun, kami melihat paranje makin ramai. Karang tumbuh, ikan datang. Itu tanda laut mulai menjawab usaha kita,” ujar Salman.
"Perlu waktu sekitar empat puluh hingga lima puluh menit untuk ke titik konservasi Karang Sendulang. Target kami, setiap tahunnya itu menanam seratus modul paranje, namun pada aktualnya, penurunan modul melebihi dari target. Perusahaan berkomitmen kepada lingkungan untuk mengembalikan kembali ekosistem terumbu karang di Karawang. Saat ekosistem pulih, ada kemungkinan kami membuka potensi wisata laut," tambah Salman.
"Saya dengarnya, ekosistem karangnya bagus. Tapi ulah manusia membuatnya rusak. Kami hadir bukan untuk mengawasi, tapi untuk bersama warga merawat dan menjaga. Kami juga rutin bersama-sama melakukan monitoring perkembangan pertumbuhan karang. Memberi pelatihan, dan mengedukasi masyarakat untuk mulai menyelam dengan aman," tambah Salman.
Ketua PAS, Dama Saputra (37) menerangkan, kelompoknya mengemban tiga misi utama. Mengembalikan habitat terumbu karang melalui transplantasi, meningkatkan ekonomi melalui hasil tangkap ikan, dan membentuk ekosistem pariwisata sebagai alternatif mata pencaharian.
"Kalau karang sudah tumbuh bagus, snorkeling bisa jadi pilihan. Saat ini kami masih merintis, karena lokasi belum siap untuk banyak pengunjung," kata Dama, Senin (8/9/2025).
Dama mengenang, saat awal penurunan paranje, karang yang ditransplantasi berukuran kecil. Ia menunjukkan jarinya, "Enam sampai tujuh sentimeter. Sekarang sudah besar, sampai ada yang patah. Kami ikat dan lem agar kembali kuat, supaya bibit bisa bertahan," kata Dama.
"Harapan ke depannya, potensi wisata ini bisa jadi alternatif penghasilan bagi nelayan yang masih menggunakan kompresor saat mencari ikan," kata Dama.
Dama juga ingat, masa saat ayahnya dan nelayan lain berburu karang, kemudian menggunakannya sebagai pondasi rumah. Ia sendiri tidak begitu tahu mengenai massa karang dan harta karun yang diperjualbelikan. Tapi, ia sendiri pernah menemukan beberapa artefak.
"Lokasinya jauh dari terumbu karang, saya pernah menemukan koin, dan gerabah. Saat itu, saya menyelam dengan kompresor angin manual. Ekonomi belum memungkinkan pakai alat lebih aman. Itu sangat berbahaya, dan bisa membahayakan tubuh," kata Dama.
Apa yang membuat Otak Jawara menarik bukan semata modulnya, melainkan cara ia menyusun ulang hubungan manusia dan terumbu karang. Para nelayan yang dulu menyelam dengan kompresor kini belajar menyelam aman, bersertifikat, bertahap, dan beralih menjadi pemandu transplantasi, penjaga monitoring, bahkan bercita-cita membangun Tangkolak sebagai wisata edukasi.
Dari kompresor yang menyalurkan udara kotor, menuju regulator dan prosedur keselamatan, dari linggis dan palu, menuju kabel ties dan lem, dari angkat menjadi tanam.
“Kalau dulu mencari fragmen karang untuk dijual, sekarang kami memilahnya untuk ditanam. Rasanya beda,” kenang Dama.
Ahli terumbu karang dari PPLH IPB, Dr. Ir. Wazir Mawardi, M.Si, yang turut terlibat dalam gerakan ini, menyampaikan bahwa gagasan paranje bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Teknik transplantasi tersebut sudah lama diperkenalkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga pernah mengeluarkan model yang sejenis.
Namun, Wazir mengingat kembali pengalaman awalnya melakukan transplantasi terumbu karang. Model-model lama, misalnya rak paralon atau modul berbentuk kotak dengan ketebalan tipis seperti papan, kerap kalah oleh arus dan sedimen.
“Kalau pakai plastik, dua-tiga tahun getas, patah. Kalau rak, umurnya pendek, ombak menghempas, mudah hancur,” kata Wazir, Minggu (15/6/2025).
Wazir menjelaskan, dari pengalaman itu, lahirlah desain paranje. Kuncinya ada pada substrat keras dari beton yang bisa menahan arus, sekaligus bentuk yang memudahkan mobilisasi.
“Kita pilih bulat. Di darat bisa digelindingkan, tidak perlu diangkat. Saat diturunkan di laut juga lebih mudah diatur posisinya. Permukaannya pun sengaja dibuat cembung. Kalau permukaannya datar, lumpur gampang menumpuk. Tapi kalau cembung, arus bisa menyapu. Itu idenya,” kata Wazir.
Paranje dibuat sederhana. Cetakannya berasal dari karung terpal yang dilapisi semen setebal lima sentimeter, membentuk modul dengan diameter 55–60 sentimeter. “Kecil tapi kokoh,” tambahnya.
Ia menghitung, bila 400 modul ditanam dengan jarak rata-rata 2–2,5 meter per unit, luas area yang bisa ditutup mencapai hampir 0,1 hektare. Tidak besar, tetapi cukup untuk memulai sebuah ekosistem kecil.
“Yang penting bukan luasnya, tapi bahwa modul-modul itu ditaruh di tempat yang benar,” ujarnya.
Wazir menekankan pentingnya memilih lokasi yang tepat. Bekas karang mati, katanya, justru menyimpan peluang. “Dulu kawasan ini produktif, tapi rusak oleh aktivitas manusia. Kalau ada sisa ekosistem alami, itu tanda lingkungan masih cocok untuk karang tumbuh. Itu yang perlu direhabilitasi.”
Bagi Wazir, rehabilitasi bukan sekadar menanam karang di pasir kosong tanpa kehidupan. “Kalau hanya pasir, potensinya rendah. Tapi kalau ada karang alami, meski sedikit, itu pondasi. Itu yang harus kita rawat,” tutupnya.
Namun, laut tidak pernah berdiri sendiri. Setiap paranje yang diturunkan, setiap fragmen yang ditanam, tak lepas dari tangan-tangan nelayan yang kembali ke rumah-rumah kayu di tepi darat. Laut Tangkolak hanyalah wajah lain dari dusun kecil bernama Sukakerta, tempat kehidupan sehari-hari dan sejarah panjang karang itu berakar.
Dusun Sukakerta menempel di garis Laut Jawa, ujung utara Karawang. Luasnya hanya 7,32 km², sekitar 10,55 persen dari total Kecamatan Cilamaya Wetan. Meski kecil, desa ini dihuni 6.586 jiwa, 3.307 laki-laki dan 3.279 perempuan, sebagian besar menggantungkan hidup pada laut. Dari pusat pemerintahan Kabupaten Karawang, Sukakerta berjarak 46 kilometer, sebuah bentang yang bukan hanya soal jarak fisik, tetapi juga jarak sosial dari kawasan industri menuju pesisir.
Sukakerta hanyalah satu dari 12 desa di Kecamatan Cilamaya Wetan. Kecamatan ini sendiri merupakan pemekaran dari Cilamaya, dengan luas 69,66 km² atau sekitar 3,97 persen dari total Kabupaten Karawang. Secara geografis, Cilamaya Wetan berbatasan langsung dengan Laut Jawa di utara, Kecamatan Blanakan (Subang) di timur, Kecamatan Banyusari di selatan, dan Cilamaya Kulon di barat.
Badan Pusat Statistik (BPS) Karawang mencatat, pada 2024 jumlah penduduk Cilamaya Wetan mencapai 83.551 jiwa dengan komposisi 42.252 laki-laki dan 41.299 perempuan. Dari angka sebesar itu, Sukakerta hanya sepotong kecil. Namun, di desa kecil inilah, Tangkolak, laut dan karang menenun ulang kisah ekonomi sekaligus kebudayaan.
Dusun Tangkolak sendiri memiliki berbagai kekayaan alam yang cukup potensial. Misalnya seperti adanya Hutan Mangrove Tangkolak seluas tujuh puluh hektar, area wisata berbasis konservasi yang juga digerakan oleh masyarakat setempat. Area mangrove itu sendiri menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, terutama sebagai penghalang abrasi. Di samping itu, keberadaannya menjadi habitat alami burung air, seperti bangau dan kuntul.
Nada Hana, perempuan pemerhati pariwisata asal Karawang dari Universitas Sebelas Maret, melihatnya sebagai peluang. Baginya, Tangkolak bukan sekadar dusun nelayan, melainkan pintu untuk membangun wajah baru pariwisata Karawang. “Potensi wisata Tangkolak bisa diolah menjadi daya tarik wisata bahari Karawang,” kata Nada, Kamis (11/9/2025).
Ia juga membayangkan Tangkolak dengan hutan mangrove yang cukup melimpah, kemudian Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pesisir pantai yang eksotis, jadi paket komplit untuk sarana wisata kuliner makanan laut seperti di kota-kota besar.
Di samping itu, kekayaan lingkungan yang ada di bisa menjadi sebuah panggung wisata. Nada menyebutkan misalnya ada kegiatan hajat laut yang merawat tradisi, fishing trip dan penjelajahan laut bagi wisatawan, kuliner serta wisata belanja di kampung nelayan, hingga trip snorkeling ke gugus terumbu karang dengan sistem trip yang memberi nafkah bagi warga pesisir.
“Keterlibatan aktif pemerintah, masyarakat lokal, komunitas, seniman lokal, dan pelaku usaha akan jadi landasan untuk membangun pariwisata berkelanjutan,” tambahnya.
Gagasan itu sejalan dengan arah kebijakan pemerintah daerah. Bupati Karawang, Aep Syaepuloh, menegaskan bahwa laut Karawang bukan sekadar sumber nafkah, melainkan juga ruang masa depan yang harus dijaga.
“Selain memiliki gunung dan sawah, Karawang juga punya laut, dengan sepuluh hingga sebelas titik terumbu karang. Tidak semua kabupaten memiliki kekayaan seperti ini,” ujar Bupati Aep, Jumat (12/9/2025).
Menurutnya, pemerintah sedang menggenjot pariwisata berbasis lingkungan, sambil berkoordinasi dengan dinas terkait agar potensi karang tidak sekadar jadi catatan di atas kertas. Namun ia juga memberi peringatan agar masyarakat tidak tergoda melakukan perburuan harta karun di situs BMKT.
“Jangan tergiur janji-janji yang belum pasti. Jangan sampai terumbu karang yang sudah bagus justru rusak karena perburuan,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa ekosistem laut bersifat rapuh, sulit dipulihkan bila hancur. Karena itu, pengelolaan harus dilakukan hati-hati, melibatkan para ahli sekaligus masyarakat.
“Kita harus menjaga bersama, bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk generasi kita nanti. Apa yang bisa pemerintah bantu, akan kita coba siapkan,” tutupnya.
Begitulah laut Tangkolak hari ini berdiri di antara dua wajah, wajah luka masa lalu yang diingat lewat cerita Nanang, dan wajah baru yang dirajut Dama bersama kawan-kawan muda. Dari kompresor tambal ban menuju regulator, dari linggis menuju paranje, dari congkel menuju transplantasi, sebuah perjalanan pelan menebus dosa pada laut.
Bukan perkara mudah, sebab laut menyimpan ingatan panjang, dari pusara kapal VOC hingga mitos Dewi Lanjar. Namun, setiap fragmen karang yang tumbuh, setiap ikan kecil yang kembali berenang, seakan berbisik bahwa luka bisa dipulihkan.
Upaya yang ada hari ini memang hanya titik kecil di samudra luas. Dari lima ribu hektare laut Karawang yang pernah menyimpan hutan karang, Otak Jawara sudah menyentuh 0,28 hektare. Meski serupa pulau kecil di tengah padang luka. Sudah 420 paranje yang diturunkan, sudah lebih dari 3.400 fragmen yang ditanam, dan melahirkan tanda pemulihan ekosistem.
Mungkin angka itu tampak remeh, nyaris tak berarti di hadapan luasnya laut. Tapi di bawah gelombang, di antara rongga paranje yang sederhana, ikan-ikan kembali datang, karang kembali tumbuh, dan laut kembali berdenyut. Otak Jawara bukan sekadar proyek konservasi, melainkan pernyataan, bahwa masa depan tidak hanya ditentukan oleh masa lalu, melainkan juga oleh keberanian untuk menebus dosa.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: