Membelenggu Keterbatasan dengan Digitalisasi Pendidikan

Jumat 13-05-2022,12:00 WIB
Oleh: redaksimetro01

Oleh: Ega Wahyu P BARU saja dunia diterpa virus yang terus bermutasi dari satu jenis ke jenis lain. Ada banyak macam variannya, yang dengannya berdampak kepada segala macam aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, kesehatan, tidak terlepas pada aspek pendidikan yang merupakan proses untuk memanusiakan manusia. Isu digitalisasi dalam dunia pendidikan bukan hanya karena terjadinya pandemi yang berkepanjangan. Wacana ini sedari dulu sudah digaungkan, mengingat wilayah Indonesia yang membentang luas dan beberapa daerah sulit mengakses pendidikan. Terlebih dengan adanya pandemi, justru isu ini menjadi semakin kuat dan hasrat untuk merealisasikannya semakin tinggi. Dulu anak-anak berangkat ke sekolah dengan membawa banyak sekali buku. Beberapa diantara mereka mengalami kelainan tulang belakang karena keberatan membawa buku paket. Apabila hujan menerpa, buku-buku yang dibawa ikut basah, isi dalamnya rusak, tidak kelihatan dan akan mengganggu proses belajar mereka. Bukan hanya itu, konstruksi sekolah di Indonesia yang pada masanya banyak menggunakan bahan kayu, termasuk urusan almari dan rak penyimpanan buku, maka buku-buku pelajaran banyak yang dimakan rayap. Kerusakan itu terus dialami setiap periode tertentu, seolah-olah hal tersebut lumrah dan dapat dimaklumi saja. Juga perihal anggaran yang terbatas. Terkadang sekolah tidak mampu menyediakan buku pelajaran secara merata kepada seluruh peserta didik. Pernah diberlakukan sebuah kebijakan bahwa satu buku paket digunakan untuk dua hingga tiga peserta didik. Tidak solutif, tapi hanya itu alternatif yang tersisa. Sekolah benar-benar kehilangan marwah untuk menjadi fasilitator pendidikan. Berangkat dari hal itulah seyogyanya semua stakeholder pendidikan bergerak untuk merespon permasalahan yang ada. Pandemi mengajarkan untuk mendigitalkan semua bidang, termasuk pendidikan dan komponen yang ada di dalamnya. Dalam hal ini adalah menyediakan buku pelajaran berbasis digital. Dengan adanya buku-buku digital, maka satu problematika pendidikan di negeri ini terselesaikan. Pelosok negeri yang kesulitan mengakses buku-buku berkualitas, kini dengan mudah mendapatkan buku tersebut, walaupun dengan versi digital. Tentunya dengan harga yang lebih murah dibandingan versi cetak. Dengan adanya buku digital, anak-anak yang bersekolah akan lebih mudah berangkat ke sekolah tanpa harus membawa buku yang berat dan menyakitkan badan. Digitalisasi pendidikan dalam komponen sumber belajar digital akan membawa banyak sekali dampak positif pada peserta didik. Akan tetapi, permasalahan pendidikan di Indonesia bukan hanya sekadar buku cetak yang berat, rawan dimakan rayap, mudah rusak karena bencana alam seperti banjir, ataupun anggaran yang terbatas hingga satu buku dibagi untuk beberapa orang. Permasalahan pendidikan di Indonesia begitu kompleks dan multi. Kemendikbudristek melalui Direktur Pendidikan Dasar, mengatakan bahwa visi pendidikan Indonesia bermaksud untuk mewujudkan Indonesia yang maju, berdaulat, mandiri dan berkepribadian melalui terciptanya pelajar Pancasila. Selain itu, pendidikan bermaksud untuk menuntaskan tantangan kemajuan teknologi informasi dan era globalisasi. Atas visi tersebut tantangan pendidikan di negeri Bahari semakin besar. merealisasikan cita-cita dan harapan pendidikan untuk memberikan keterbukaan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengalami hambatan di banyak hal. Terlebih dengan membentangnya alam Indonesia yang luas, maka itu menjadi suatu persoalan baru, dimana akan timbul kesenjangan pendidikan dan tidak meratanya mutu pada lembaga-lembaga yang mengelola pendidikan. Pendidikan pada program studi tertentu sangat terbatas ditemukan di pulau Kalimantan. Sedangkan di Jawa, semua muatan ada disana. Untuk merantau ke daerah lain, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mulai dari transportasi, akomodasi, konsumsi hingga biaya pendidikan itu sendiri Pemerintah bertanggung jawab untuk mewujudkan pendidikan yang merata dan sama di seluruh wilayah Indonesia. Namun, dengan begitu luasnya wilayah, banyaknya jumlah penduduk serta terbatasnya anggaran, realisasi pemerataan pendidikan menjadi terhambat. Hanya daerah perkotaan yang merasakan sedikit kemajuan pendidikan. Mereka yang tinggal di perbatasan, pedalaman dan daerah terluar masih harus menggigit jari dengan kuat melihat ketertinggalan tersebut. Sebenarnya untuk menghadirkan kemerataan pendidikan di masa sekarang dapat ditanggulangi dengan mendigitalkan pendidikan itu sendiri. Indonesia mulai saat ini harus mampu menghadirkan sekolah, guru, buku dan sumber belajar secara digital sebagai langkah untuk mempercepat pemerataan pendidikan. Jika sudah ada sekolah atau kampus yang sifatnya digital, maka dimana pun seseorang berada, dia dapat mengeyam pendidikan sesuai dengan minatnya tanpa harus keluar dari rumah dan mengeluarkan biaya yang besar. Anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan dapat benar-benar dikontrol sedemikian rupa agar lebih miring, sehingga dapat dialokasikan untuk hal yang lebih urgen. Seseorang yang berada di Kalimantan, Sumatera atau bahkan ujung Papua, dapat merasakan gaya dan rasa belajar di Jakarta, Bandung atau daerah yang lebih maju kualitas pendidikannya, atau dapat belajar sesuai dengan program studi yang diminati. Digitalisasi pendidikan melahirkan kemudahan belajar dengan biaya yang rendah dan murah. Adanya pandemi memberikan sedikit warna pada pendidikan di Indonesia. Setidaknya, guru-guru mulai beralih kepada gaya mengajar abad 21 dengan melakukan pendekatan pembelajaran digital. Ini adalah langkah awal yang baik dan tentunya harus selalu dievaluasi serta diberikan inovasi terbaru dan termutakhir. Kemajuan pendidikan di bidang digital tentu menguntungkan, sekaligus memiliki tantangan tersendiri. Seperti sudah menjadi rahasia umum, bahwa keterbatasan ekonomi menjadi penghalang untuk beralih dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran digital. Lagi-lagi pemerintah diminta untuk menyediakan fasilitas belajar berbasis digital kepada setiap peserta didiknya. Dengan jumlah sekolah di tingkat dasar sebesar 149,000 sekolah, tentu tantangan ini sangat berat dirasakan. Belum lagi di jenjang berikutnya, sepertinya APBN dan APBD membutuhkan waktu yang lama dalam menyediakan fasilitas bagus dan berkualitas untuk pendidikan digital. Jika sudah begitu, lagi-lagi semua stakeholder harus mencari solusi alternatif lainnya. Bisa saja pemerintah melibatkan pihak ketiga untuk mengadakan fasilitas digital guna mencapai digitalisasi pendidikan. Contohnya, dengan melakukan pendekatan kepada investor dan pengembang agar memberikan layanan untuk membangun kualitas sumber daya manusia yang berkualitas. Sekarang saja sudah banyak pengembang aplikasi pembelajaran online. Hal itu selain terlepas dari pandemi yang melanda dunia, tren untuk belajar online sudah mulai tumbuh di masyarakat. Artinya, sudah ada pergeseran cara belajar dari konvensional ke digital, walaupun boleh dikatakan negara lain beberapa langkah lebih maju dan lebih dulu menerapkannya. Jika tren ini terus meningkat dan pengembangan aplikasi serta pegiat belajar online terus tumbuh, pemerintah boleh saja melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator pembelajaran digital untuk digitalisasi pendidikan. Semua pihak tentu akan mendapatkan keuntungan, terlepas dari keberhasilan pembelajaran yang menjadi tujuan utama. Pernyataan ini harus diyakini dan direalisasikan, bahwa digitalisasi pendidikan bukan sekadar wacana dan omong kosong belaka. Program ini adalah program jangka panjang, yang dampaknya dirasakan secara berkala dan terus menerus. Adanya digitalisasi pendidikan akan merubah sedikit demi sedikit kemajuan bangsa. Digitalisasi pendidikan bukan sekadar penyediaan buku ajar secara digital. Pendidikan di era digital meminimalkan banyak hal, mulai dari tenaga pendidik, gedung sekolah, kelas belajar, sumber pembelajaran dan segala hal yang terkait dengannya. Digitalisasi pendidikan adalah upaya untuk mengentaskan kesenjangan belajar di setiap daerah. Pemerataan pendidikan dapat dicapai dengan digitalisasi pendidikan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait