KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. memberikan respons putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait penundaan Pemilu berpotensi ciptakan kekacauan ketatanegaraan.
Putusan PN Jakpus menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;
Artinya Pemilu tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2024, Menurut Fahri Bachmid, putusan yang berawal dari gugatan Partai Prima dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, tersebut bercorak ultra vires dan potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
BACA JUGA:Jelang Ramadhan, Masjid Raya Al Jabbar akan Jadi Lokasi Favorit Ngabuburit
“Secara hukum putusan hakim dalam perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst adalah "ultra vires" atau dengan kata lain "beyond the" power" sehingga konsekwensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat "null and void" atau bersifat "van rechtswege nietig/null end void", sehingga tidak dapat di eksekusi,” ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulis, Kamis (2/3/2023).
Menurutnya, hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu, berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini, yang mana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi 2 (dua) jenis yaitu Pelanggaran dan Sengketa.
BACA JUGA:212 Pegawai Diambil Sumpah Sebagai PNS, Ini Pesan Plt. Wali Kota Bekasi
Dijelaskan Fahri, Pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Kode Etik dan Pelanggaran Pidana, sedangkan untuk Sengketa terbagi menjadi 2 (dua) yaitu Sengketa Proses dan Sengketa Hasil.
“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa "dispute" baik pelanggaran maupun sengketa,” katanya.
Fahri Bachmid menambahkan, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepada Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkmah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
BACA JUGA:Kepala Pekon Way Nipah Tanggamus Tantang Duel Wartawan, Kenapa?
Fahri Bachmid berpendapat, bahwa penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur
(l) Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik caton Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU lhbupaten/Kota.