“Sepuluh tahun lalu kehidupan kami tidak setenang ini. Tiap hari kami hidup dalam kecemasan. Cemas akan kampung halaman yang terus tergerus ombak laut.”
KALIMAT itu keluar dari mulut Sahari, lelaki berusia lebih dari setengah abad, warga Dusun Pasirputih Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang.
Telunjuknya mengarah ke bibir pantai, menunjukkan hasil kerja kerasnya bersama warga lain, menahan ombak dengan rangkaian ban sepeda motor bekas yang jumlahnya puluhan ribu.
Upaya Sahari dan warga Pasirputih selama lebih kurang 8 tahun kini mulai membuahkan hasil. Abrasi yang selalu tanpa ampun menggerus pantai kini bisa ditaklukan dan terhenti.
Bahkan kerja keras itu kini telah menghasilkan sebuah lanskap pesisir pantai yang indah yang tiap harinya didatangi banyak pengunjung untuk berwisata.
“Sepuluh tahun lalu abrasi di sini sangat ganas. Bayangkan saja hanya dalam beberapa tahun tidak kurang 10 hektare daratan hilang dihantam gelombang. Sedikit demi sedikit lahan tempat bermain anak-anak lenyap berubah menjadi lautan. Area untuk memperbaiki perahu kami juga banyak yang rusak, tak tersisa lagi. Semuanya berubah menjadi perairan,” kenang Sahari yang kesehariannya adalah nelayan tangkap.
Sahari, nelayan Pasirputih yang sukses berjuang melawan abrasi.
Abrasi pantai memang sangat berpengaruh pada kehidupan para nelayan di desa ini. Abrasi telah berdampak secara psikologis yang signifikan terhadap para nelayan Pasirputih saat itu.
Seperti juga Sahari dan keluarganya, para nelayan mengaku sering mengalami stres dan kecemasan yang tinggi.
Kekhawatiran mengenai kerugian materi, seperti kehilangan rumah, tanah, atau sumber pendapatan, telah menyebabkan gangguan emosional dari warga.
Abrasi juga secara ekonomi sangat mempengaruhi warga pesisir. Bahkan saking sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Lasmi (40) istri dari Sahari terpaksa pergi ke Arab Saudi selama 3 tahun untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW).
Perubahan lingkungan hidup yang parah ini memang telah memicu rasa tidak aman dan ketidakpastian mengenai masa depan dan memperburuk kondisi psikologis para nelayan di Pasirputih.
“Saat itu kami sulit tidur jika malam hari. Karena ingatan selalu tertuju pada pantai yang terus tergerus,” ujar lelaki 3 anak yang kini berusia 56 tahun ini.