Perayaan Maulid Nabi kemudian menyebar ke kalangan Muslim Sunni beberapa abad kemudian, terutama pada abad ke-12. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam memperkenalkan perayaan Maulid di kalangan Sunni adalah Sultan Muzhaffaruddin al-Kaukabri, penguasa Irbil (sekarang di Irak), pada abad ke-12 Masehi. Beliau dikenal sebagai salah satu penguasa yang sangat mencintai Nabi Muhammad dan ingin memperingati kelahiran Nabi dengan cara yang lebih formal.
Sultan Muzhaffaruddin mengadakan perayaan Maulid Nabi secara besar-besaran di kota Irbil dengan dihadiri oleh para ulama, qari (pembaca Al-Qur’an), penyair, dan para pembesar kerajaan. Perayaan ini melibatkan pembacaan shalawat, kisah kehidupan Nabi, dan pemberian makanan kepada masyarakat.
4. Penerimaan di Dunia Islam
Meskipun awalnya tidak semua ulama sepakat dengan perayaan Maulid Nabi, seiring waktu, perayaan ini semakin diterima di banyak wilayah Muslim. Imam Jalaluddin al-Suyuthi, seorang ulama besar dari Mesir pada abad ke-15, adalah salah satu ulama yang mendukung peringatan Maulid Nabi. Menurutnya, perayaan Maulid merupakan bentuk ekspresi cinta dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW, selama perayaannya dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
Sejak saat itu, Maulid Nabi menjadi tradisi penting di banyak negara Muslim, baik di kalangan Sunni maupun Syiah. Setiap wilayah memiliki cara yang berbeda dalam merayakannya, namun esensi dari peringatan ini adalah mengekspresikan rasa cinta kepada Nabi dan meneladani ajarannya.
5. Maulid Nabi di Nusantara
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi mulai diperkenalkan oleh para ulama dan wali yang menyebarkan Islam di Nusantara, terutama oleh Walisongo di Pulau Jawa. Mereka memanfaatkan momentum Maulid Nabi sebagai sarana untuk mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan budaya.
Hingga kini, Maulid Nabi di Indonesia dirayakan dengan berbagai tradisi lokal, seperti Sekaten di Yogyakarta, Grebeg Maulid di beberapa daerah Jawa, dan Baayun Maulid di Kalimantan Selatan. Acara ini sering melibatkan pembacaan shalawat, kisah Nabi, serta dzikir dan doa bersama.
6. Kontroversi dan Pandangan Ulama
Walaupun Maulid Nabi diterima oleh banyak umat Islam, ada beberapa ulama dan kelompok yang tidak merayakannya, dengan alasan bahwa perayaan tersebut tidak dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW atau para sahabatnya (bid'ah). Namun, ulama yang mendukung Maulid berpendapat bahwa selama perayaan tersebut diisi dengan kegiatan yang positif, seperti membaca shalawat dan meneladani akhlak Nabi, maka hal ini dianggap baik dan bermanfaat.
Jadi kesimpulannya yaitu, Maulid Nabi lahir dari tradisi Dinasti Fatimiyah dan kemudian menyebar ke kalangan Sunni serta dunia Islam secara lebih luas. Perayaan ini berkembang menjadi sarana untuk mengekspresikan cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, serta sebagai momentum untuk mengenang ajaran dan keteladanannya. Meskipun ada pandangan yang berbeda tentang perayaan Maulid, tradisi ini terus dijalankan di banyak negara Muslim hingga saat ini.