Kritik juga datang dari kalangan legislatif. Beberapa anggota DPRD Jawa Barat menyebut bahwa kebijakan ini telah “mati di tangan birokrat”.
> “Perintah gubernur itu jelas. Kalau Dinas tidak menjalankannya, artinya mereka melawan kebijakan kepala daerah sendiri. Ini bentuk pembangkangan birokrasi,” ujar salah satu anggota komisi pendidikan DPRD Jabar.
Ironinya, Disdik Jabar justru mengklaim bahwa semua proses sudah sesuai prosedur dan tidak ada pelanggaran. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: masih banyak anak dari keluarga miskin yang gagal masuk sekolah negeri dan akhirnya terpaksa berhenti belajar.
Kasus ini bukan hanya mencoreng nama Dinas Pendidikan Jawa Barat, tetapi juga menunjukkan betapa bobroknya sistem birokrasi pendidikan yang seharusnya menjadi benteng keadilan sosial.
Jika kebijakan yang bertujuan menolong rakyat kecil saja bisa “diselewengkan”, maka sulit berharap masa depan pendidikan Jawa Barat akan benar-benar berpihak pada mereka yang membutuhkan.***