Pimpinan Pesantren Diduga Mencabuli 20 Santriwati, KPAI: Kemenag Harus Buat Peraturan Baru...!
MIRIS, seorang pimpinan pesantren diduga mencabuli 20 santriwati. Atas peristiwa itu KPAI mengecam keras aksi pimpinan pondok pesantren di Kabupaten Bandung itu. Aksi pimpinan pesantren diduga mencabuli 20 santriwati membuat KPAI mendorong pendampingan dan perlindungan kepada para korban. Pimpinan pesantren diduga mencabuli 20 santriwati "KPAI mendorong perlindungan dan pendampingan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan atau P2TP2A setempat terhadap para korban termasuk pemenuhan hak rehabilitasi psikologi bagi para korban," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti, Rabu 17 Agustus 2022. Baca Juga:Â Lagi, 2 Santriwati Diduga Jadi Korban Pencabulan Pengasuh Ponpes Dikatakan Retno, KPAI mendesak Kementerian Agama RI untuk segera membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan Pendidikan. Menurutnya, salah satu kehadiran negara adalah membuat regulasi, sebab perlindungan anak yang terbaik adalah dengan membangun sistem pencegahan yang kuat. "Kementerian Agama sampai hari ini belum memiliki Peraturan Menteri Agama (PMA) terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, baik di madrasah dan pondok pesantren. Apalagi satuan pendidikan berasrama, seharusnya ada sistem pencegahan, sistem pengawasan dan sistem pengaduan yang melindungi korban dan saksi," ujarnya. "Satuan pendidikan berasrama pengawasannya harus ketat karena peserta didik pengasuhannya dipindahkan kepada institusi atau lembaga pendidikan tersebut, sehingga satuan pendidikan wajib melindungi anak-anak atau peserta didiknya. Sebagai catatan, Kemendikbud-Ristek sudah memiliki Permendikbud No 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Sudah ada aturan saja masih terjadi kekerasan seksual, apalagi jika tidak ada," paparnya. Ia juga menyoroti adanya relasi kuasa terhadap aksi pencabulan itu. Menurutnya, tak mudah bagi korban anak di bawah umur untuk bicara atau melapor karena khawatir tidak dipercaya dan khawatir juga kalau prestasi belajarnya akan dipermasalahkan oleh pelaku yang memang memiliki relasi kuasa tinggi atas korban. "Selain itu, kemungkinan besar korban merasa malu dan merasa hal ini adalah aib yang harus ditutupi. Dengan korban tidak bicara atau melapor maka pelaku akan melanjutkan kekerasan seksualnya bahkan makin berani dan akan melakukan juga pada korban-korban lain. Pelaku merasa aman dan tidak akan pernah ada efek jera jika belum di proses hukum. Hukum harus ditegakkan, korban harus mendapatkan keadilan. Melaporkan pelaku berarti juga menghentikan ada korban lain," ujarnya. Lebih lanjut, Retno mengatakan perlindungan terhadap anak tidak hanya menjadi tanggungjawab negara, namun juga menjadi tanggungjawab masyarakat, orang tua, bahkan anak itu sendiri. Dia meminta semua pihak berpartisipasi untuk melindungi anak-anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual. "Ketika menitipkan anak-anak untuk belajar di pondok pesantren, maka para orang tua wajib memastikan bahwa anaknya akan aman dan terlindungi selama berada di ponpes atau sekolah berasrama lainnya. Pastikan orang tua dapat memantau perkembangan anak-anaknya termasuk kesehatan mental anak-anak mereka, baik secara daring maupun luring," ujarnya. Sebelumnya, puluhan santriwati diduga menjadi korban pencabulan pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung. Sampai kini pihak kepolisian terus mendalami kasus dugaan pencabulan tersebut. Salah satunya terkait dugaan banyaknya korban dalam kasus tersebut. (red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: