Zat di Dalam Otak yang Memiliki Banyak Manfaat

Zat di Dalam Otak yang Memiliki Banyak Manfaat

γ-Aminobutyric Acid (GABA) memiliki sejarah yang cukup panjang yang dirangkum oleh. Pada tahun 1883 untuk pertama kalinya, GABA diakui sebagai produk metabolisme pada tanaman dan mikroba. Kemudian, pada tahun 1949 dikonfirmasi bahwa senyawa tersebut ada pada umbi kentang dan pada tahun 1950 dilaporkan ada di otak. Masih di tahun 1950, tiga studi independen tentang GABA dalam sistem saraf pusat mamalia diterbitkan dalam edisi yang sama dari Biological Chemistry yang menyebabkan para peneliti di seluruh dunia terlibat untuk membuktikan GABA sebagai neurotransmitter penghambat. Pada tahun 1953, Florey mengusulkan bahwa GABA bertindak sebagai neurotransmitter inhibitor di otak dengan mengisolasi senyawa dari otak kuda dan secara eksogen diterapkan pada udang karang juga kucing. Selanjutnya, diketahui juga bahwa GABA memiliki peran dalam pembuatan energi dalam sel dan disimpulkan bahwa GABA sebagai metabolit yang tidak terlibat dalam pensinyalan. Tingkat GABA pada invertebrate (hewan yang tidak memiliki tulang punggung) juga tidak signifikan sehingga disimpulkan bahwa GABA tidak memenuhi kelayakan neurotransmitter. Namun, penelitian selanjutnya pada cacing mengungkapkan bahwa GABA memang neurotransmitter yang kuat. Ditemukan pada udang karang dengan konsentrasi yang lebih tinggi di neuron motorik, sehingga meniadakan gagasan ketidakhadirannya pada invertebrata. γ-Aminobutyric Acid (GABA) merupakan asam amino non-protein dengan empat karbon atom dari asam glutamat. GABA menjadi penelitian yang menarik selama beberapa tahun terakhir karena luasnya pemanfaatan GABA. GABA memiliki manfaat sebagai anti-depresan, peningkat imunitas, pengatur tekanan darah (anti-hipertensi), dan anti-obesitas, serta dapat dimanfaatkan untuk relaksasi dan gangguan sulit tidur. Hal ini dapat dikarenakan GABA berperan sebagai neurotransmiter inhibitor utama dalam sistem saraf pusat mamalia yang mampu meningkatkan konsentrasi plasma, hormon pertumbuhan, dan sintesis protein di dalam otak. Ketika otak menerima sinyal atau tekanan yang cukup banyak, GABA yang akan menstabilkannya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa GABA secara efektif mampu mengurangi tingkat kematian dan efek kronis pada tikus yang telah terinfeksi dengan coronavirus (MHV-1). Karena respons imun awal yang lebih lemah dan tertunda terhadap infeksi SARS-CoV-2 dikaitkan dengan penyakit yang lebih parah pada pasien COVID-19 (11 pasien) dan GABA memiliki efek antiinflamasi, para peneliti mengantisipasi bahwa pengobatan dengan GABA segera setelah infeksi MHV-1 dapat merusak membatasi atau menunda respon imun bawaan. Terbukti bahwa pengobatan GABA awal segera setelah infeksi MHV-1 sangat efektif dalam mencegah perkembangan penyakit dan kematian. Secara alami GABA memang ditemukan pada otak hewan mamalia dan manusia. Namun, GABA juga dapat ditemukan dari berbagai sumber, seperti tanaman dan hewan lainnya. Diketahui bahwa beberapa tanaman yang mengandung GABA terdiri dari teh, daun murbei, tomat, kacang kedelai, daun mulberi, kecambah beras merah, dan petunia. GABA juga terkandung pada hewan serangga seperti kecoa, belalang, ngengat, lebah madu, dan lalat. Selain itu, GABA dapat diisolasi dari bakteri asam laktat (BAL), ragi, maupun jamur. GABA juga banyak ditemukan dalam makanan dan minuman fermentasi seperti tempe/kedelai fermentasi, dadih/susu kerbau fermentasi, asam durian/durian fermentasi, tape singkong/singkong fermentasi, ikan budu/ikan fermentasi, sake, yogurt-sake, penghuni pertama, bir murbei, kimchi dan keju zlatar. Makanan dan minuman fermentasi yang diperkaya GABA berpotensi menjadi tren sebagai makanan fungsional. Pengolahan GABA oleh mikroorganisme dalam makanan dan minuman fermentasi sederhana dan tidak memerlukan biaya produksi yang tinggi selama proses pemurnian. Dengan demikian, baik industri maupun pelanggan dapat menerima manfaat. Meskipun penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi sumber mikrobiologis GABA dan memaksimalkan produksi melalui fermentasi, tidak ada cukup informasi yang tersedia tentang produksi GABA dalam makanan dan minuman fermentasi pada skala industri. Oleh karena itu, proses scale-up perlu diselesaikan. Ini mungkin menghadirkan tantangan baru, seperti kebutuhan mikroorganisme yang menghasilkan GABA lebih tinggi dalam skala pilot atau mini untuk produksi massal berikutnya. (*)   Referensi: Berliyantia, A. R., Suprihadia, A., & Kusdiyantinia, E. (2020). Deteksi Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) pada bakteri asam laktat hasil isolasi produk fermentasi petis ikan dari Rembang. NICHE Journal of Tropical Biology, 3(2), 59–67. Cho, Y. ., Chang, J. ., & Chang, H. . (2007). Production of Gammaaminobutyric Acid (GABA) by Lactobacillus buchneri Isolated from kimchi and its neuroprotective effect on neuronal cells. J Microbiol Biotechnol, 17, 104–109. Diana, M., Quílez, J., & Rafecas, M. (2014). Gamma-aminobutyric acid as a bioactive compound in foods: a review. Functional Foods, 10, 407–420. Park, S. J., Kim, D. H., Kang, H. J., Shin, M., Yang, S. Y., Yang, J., & Jung, Y. H. (2021). Enhanced production of γ-aminobutyric acid (GABA) using Lactobacillus.pdf. In LWT- Food Science and Technology (Vol. 137, p. 110443). Rashmi, D., Zanan, R., John, S., Khandagale, K., & Nadaf, A. (2018). γ-Aminobutyric Acid (GABA): Biosynthesis, Role, Commercial Production, and Applications. In Studies in Natural Products Chemistry (1st ed., Vol. 57). Elsevier B.V. Sahab, N. R. M., Subroto, E., Balia, R. L., & Utama, G. L. (2020). γ-Aminobutyric acid found in fermented foods and beverages: current trends. In Heliyon (Vol. 6, Issue 11). Tian, J., Middleton, B., & Kaufman, D. L. (2020). GABA administration prevents severe illness and death following coronavirus  infection in mice. In bioRxiv : the preprint server for biology.   * Penulis : Miswa Salza Kirana Z. P, Mahasiswi Prodi  Teknologi Pangan, Universitas Padjadjaran (Unpad)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: