Bernalar di Sekolah Merdeka

Bernalar di Sekolah Merdeka

-Istimewa-

Oleh: Isdiyono

 

SEDIKIT nostalgia, kita semua tentu pernah mengalami hal-hal menyenangkan di sekolah. Kesenangan-kesenangan di sekolah tidak akan kita dapatkan di rumah, karena ruang lingkup yang berbeda.

 

Di rumah, kita bertemu dengan teman yang itu-itu saja dan hampir setiap saat kita bertemu dengannya. Di sekolah, kita bertemu dengan teman yang bisa jadi rumahnya agak jauh dan interaksinya hanya sekitar lima hingga tujuh jam per hari.

 

Kejadian-kejadian itu tentu saja sudah tertanam dalam ingatan jangka panjang kita. Meskipun, tidak semua kenangan itu indah. Bisa jadi kita semua pernah mengalami perundungan, hanya saja kita sudah lama melupakan dan berdamai dengannya.

 

BACA JUGA: Maulana Sugilar dalam Memori Kita

 

Seiring berjalannya waktu, perubahan demi perubahan terjadi dalam kurikulum pendidikan kita. Perubahan kurikulum sendiri diperlukan karena pada dasarnya pendidikan harus bisa menempatkan dirinya pada waktu yang berbeda sesuai dengan zamannya.

 

Misalnya, seorang guru pada masa lampau bisa memukul atau melakukan hukuman fisik dalam mendidik. Orang tua justru akan merasa malu jika mendapatkan kabar anaknya di sekolah mendapatkan hukuman. Sehingga, yang bersangkutan akan mendapatkan hukuman ekstra di rumah.

 

Sekarang, gaya mendidik yang demikian sudah tidak bisa dijalankan lagi. Pasalnya, hukuman fisik pada saat ini dianggap sudah tidak relevan. Di samping banyak menimbulkan dampak negatif pada perkembangan emosi siswa, tidak banyak hasil positif yang didapat dari gaya ini.

 

BACA JUGA:Pendidikan Karakter di Era Milenial

 

Anak-anak masa kini sudah tidak memerlukan banyak perintah untuk melaksanakan sesuatu. Mereka sudah mendapatkan banyak informasi dan pengalaman melalui media-media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok hingga Youtube. Sumber belajar siswa tidak lagi tergantung pada buku cetak, tetapi sudah tersedia secara bebas dalam bentuk yang lebih digemari yaitu audio visual.

 

Namun, kemudahan akses sumber belajar ini belum diimbangi dengan kematangan diri. Perkembangan emosi yang terlalu cepat pada masa sekolah, telah membentuk generasi sekarang menjadi generasi rentan. Pengaruh media sosial yang masif, telah membentuk anak-anak yang introvert secara berlebihan. Perkembangan pengetahuan dan emosi yang cepat tidak diikuti dengan perkembangan sosial yang tepat. Ketika perkembangan diri terhambat bertemu dengan media sosial, maka terbentuklah komunitas-komunitas sosial yang pada kenyataannya justru antisosial.

 

Beberapa remaja ini kehilangan hubungan dengan lingkungan sosial mereka. Sehingga, membentuk kelompok masyarakat baru yang terlepas dari tanggung jawab lingkungannya. Keinginan mengumbar kebebasan berekspresi, menghindari aturan-aturan sekolah dan kekangan orang tua menjadi alasan klasik yang selalu dijadikan alibi.

 

BACA JUGA:Menjaga Spiritualitas Pendidikan di Era Marketplace

 

Semakin mudahnya anak-anak dengan minat yang sama bertemu, memudahkan kelompok-kelompok ini berkembang. Sehingga, tidak heran kalau beberapa di antaranya berkembang menjadi kelompok yang melakukan aksi-aksi kriminal.

 

Kemampuan Bernalar

Satu hal yang tidak atau belum dimiliki anak-anak ini adalah kemampuan dalam bernalar. Keterampilan bernalar ini erat kaitannya dengan kemampuan memprediksi suatu kejadian di masa depan sebagai dampak yang dilakukannya hari ini.

 

Keterampilan ini sangat penting dikembangkan sejak dini, terlambat menyadari berarti terlambat dalam menyinergikan keterampilan majemuk anak yang setiap saat mengalami perkembangan. Bisa jadi, keterampilan bernalar ini terhambat karena anak-anak merasa tidak bahagia di sekolah karena potensi-potensi kebaikannya tidak mendapatkan ruang.

 

Adanya Kurikulum Merdeka Belajar yang telah diluncurkan sebanyak 24 bagian, seharusnya bisa mengembangkan kemampuan bernalar anak. Karena muara dari konsep Merdeka Belajar adalah mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan yang menuntun bakat, minat dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan sebagai anggota masyarakat.

 

BACA JUGA:Krisis Regenerasi di Sektor Pertanian Indonesia

 

Jadi, sangat jelas bahwa pengembangan potensi-potensi anak tidak bisa dilepaskan dari pengembangan interaksi anak kepada lingkungannya. Karena sejatinya, pendidikan harus memberikan bekal anak ketika masuk ke dunia masyarakat.

 

Pasalnya, tidak sedikit anak yang gagal beradaptasi ketika lulus dari sekolah. Terutama kemandirian dalam menentukan nasibnya sendiri. Bahkan, bisa kita jumpai di sekitar kita anak-anak yang gagal bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa mereka harus mulai mandiri baik secara ekonomi maupun mental. Akibatnya, banyak orang tua yang seharusnya menikmati jerih payah di hari tua, harus menanggung hal-hal negatif yang dilakukan oleh anaknya.

 

BACA JUGA: Pendidikan dan Inovasi Pembelajaran Masa Kini

 

Jika keterampilan bernalar berkembang dalam diri masing-masing anak, maka secara langsung akan meningkatkan kesadaran anak dalam menguatkan sikap tanggung jawab.

 

Sikap inilah yang memang secara kodrat belum dimiliki sepenuhnya oleh anak. Tetapi, harus dipupuk sebagai bekal dalam memecahkan berbagai masalah hidup yang kelak harus dijalani oleh anak. Agar anak bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan tidak menjadi beban untuk lingkungannya. Pertanyaannya sekarang adalah, sudahkah sekolah-sekolah yang “merdeka” ini memfasilitasi anak untuk bernalar? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: