Meluruskan Kesalahpahaman Kasus Hukum Pembunuhan Begal yang Viral di Medsos

Meluruskan Kesalahpahaman Kasus Hukum Pembunuhan Begal yang Viral di Medsos

Oleh: Aking Saputra (Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UI) MENYIKAPI kehebohan di medsos mengenai ditersangkakannya korban begal yang berbalik membunuh si pelaku begal, saya alumnus FHUI merasa perlu memberikan pencerahan ke publik untuk menghindarkan kesalahpahaman dan prasangka buruk. Hukum pidana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (yang mewarisi hukum Belanda karena asas konkordansi, mengatur prinsip bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana karena terpaksa membela diri, tidak boleh dihukum. Pasal 49 KUHPidana: (1) barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. (2) melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak dapat dihukum. Ini disebut "noodweer" (pembelaan darurat), ada 3 syarat untuk dapat dikatagorikan noodweer sbb: 1. Harus ada serangan yang melawan hak dan sekonyong-konyong. Dalam kasus begal tersebut, syarat ini terpenuhi. 2. Pembelaan itu terhadap badan, kehormatan, atau barang sendiri atau orang lain, syarat ini juga terpenuhi. 3. Perbuatan menusuk balik si pelaku begal itu harus terpaksa, amat perlu,dan tidak ada jalan lain, darurat (dalam istilah Belanda: noodzakelijk). Nah, unsur ketiga ini dalam kasus begal tsb yang bisa bersifat abu abu. Antara perbuatan (menusuk balik si pelaku begal) dengan hal yang dibela itu harus proporsional. Membela harta berupa motor senilai Rp 15jt, misalnya, tidak proporsional dengan pembelaan berupa membunuh si pelaku begal, lain halnya kalau situasi saat kejadian memang bisa membahayakan nyawa si korban begal kalau si korban begal tidak segera menusuk (yang mengakibatkan mati) si pelaku begal. Yang berwenang memutuskan hal ini adalah hakim, bukan polisi dan jaksa. Polisi wajib menyelidiki dan menyidik apabila terjadi suatu peristiwa pidana (yaitu terbunuh matinya si pelaku begal). Polisi tidak punya wewenang untuk memutuskan bahwa dalam kasus terbunuhnya pelaku begal tsb terjadi suatu noodweer, yang berwenang memutuskan adalah hakim pengadilan. Dalam hal selama proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan, polisi/jaksa sampai menahan tersangka, saya memandang bahwa menahan si tersangka adalah tidak bijak, karena si tersangka bukanlah penjahat. Demikian penjelasan saya berasal dari bahan kuliah tingkat 1 di FHUI dari dosen saya Alm. Prof.Sri Saparni, S.H.) Semoga bermanfaat. (Aking Saputra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: