Seorang Ibu Harus Happy, Agar Produksi ASI Lancar

Seorang Ibu Harus Happy, Agar Produksi ASI Lancar

PEKAN ASI Sedunia diinisiasi ketika World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) dihelat di New York, Amerika Serikat, pada 1991. Tepatnya pada 14 Februari di markas United Nations Children’s Fund (Unicef). ASI lebih dari perisai milik tokoh superhero Captain America, yang mampu melindungi diri dari serangan musuh. Kandungannya terdiri atas air, protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, zat antibodi, hingga enzim. Menurut Nia Wulan Sari CIMI, dokter umum sekaligus konselor laktasi di RS Pondok Indah Bintaro Jaya, ASI merupakan nutrisi terbaik yang menjadi sumber pertahanan tubuh dan stimulasi si kecil sejak dini. Ada tiga kandungan gizi yang penting dalam ASI. Pertama, laktosa karbohidrat. Kandungan itu berfungsi sebagai salah satu sumber energi untuk otak. Kadar laktosa itu hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan laktosa pada susu sapi atau susu formula. Kedua, protein whey yang lebih mudah diserap usus bayi. ASI juga memiliki jenis asam amino yang lebih lengkap. Kandungan ketiga yang tak kalah penting adalah lemak. Nia mengatakan, lemak omega 3 dan omega 6 yang berperan dalam perkembangan otak bayi banyak ditemukan pada ASI. ASI juga mengandung banyak asam lemak rantai panjang. Di antaranya, asam dokosaheksanoik (DHA) dan asam arakidonat (ARA). ’’Menyusui ini investasi berharga bagi tumbuh kembang si kecil,â€ ujarnya. Sayang, menurut Nia, masih banyak orang yang menganggap menyusui hanya tugas ibu. Anggapan lain, seorang ibu pasti bisa menyusui secara alamiah tanpa masalah. Nia menegaskan bahwa anggapan tersebut keliru. Suburnya tanggapan itu di masyarakat membuat banyak hambatan menyusui tak terpecahkan. Alhasil, tumbuh kembang buah hati menjadi taruhannya. Apalagi, di kondisi pandemi seperti saat ini, siapa pun mudah stres. Tak terkecuali ibu menyusui. Ketika ibu stres, produksi ASI bisa terpengaruh. Ibu perlu melakukan manajemen stres dalam diri dengan baik. Ibu butuh lingkungan positif. Menurut berbagai penelitian, apabila ibu menyusui mendapat dukungan penuh dari suami dan keluarga, tingkat keberhasilan menyusui menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, jika ibu menyusui dengan suami dan keluarga yang kurang membantu dalam merawat si kecil, produksi ASI akan terganggu. Tetap berpikiran happy dan positif menjadi kunci penting. Nia menuturkan, ibu harus yakin ASI-nya cukup untuk bayi. Luangkan waktu untuk me time, lalu istirahat dengan cukup. Kemudian, susui bayi secara rutin dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes) yang ketat. Jika ibu menyusui terpapar Covid, tidak perlu risau. Ibu tetap bisa mengonsumsi vitamin/suplemen. Seperti multivitamin yang mengandung vitamin C, zinc, dan vitamin B kompleks. Sama saja seperti penderita Covid lain. Tidak ada pembeda. Jika masih bisa menyusui, tetap perhatikan prokes. Kenakan masker dan sering cuci tangan. Suplemen bisa ditambah jika kuantitas ASI berkurang selama ibu sakit. Ada suplemen alami seperti fenugreek, torbangun, dan daun katuk. ’’Bahan-bahan itu sudah dibuat secara modern dalam bentuk kapsul. Konsultasikan kebutuhan penggunaannya dengan konselor laktasi atau dokter spesialis anak,â€ ucap Nia. Lalu, apakah kondisi Covid bisa memengaruhi produksi ASI? Nia mengungkapkan, keadaan stres, sakit, dan kelelahan bisa memengaruhi produksi asi. Kondisi itu menstimulasi pengeluaran hormon kortisol. Akibatnya, menghambat pengeluaran hormon prolaktin dan oksitosin yang bertanggung jawab memproduksi ASI. Memberikan ASI menjadi momen yang paling ditunggu oleh Palestin. Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) itu menyatakan, dirinya tak ingin melewatkan masa-masa menyenangkan tersebut. Saat anak pertama lahir pada 2016, dia masih menjalani koasisten untuk profesinya sebagai dokter hewan. Sementara itu, anak keduanya baru saja lahir. Usianya masih 14 hari. â€Saat si kakak, waktunya tidak sepadat adiknya sekarang karena hanya koasisten. Kalau si adek ini, saya nyambi dosen dan praktisi di klinik,â€ tuturnya Jumat (6/8). Produksi ASI Palestin sempat berkurang saat anak pertama. ’’Ternyata karena stres. Saya melakukan aktivitas yang membuat happy pokoknya. ASI kembali lancar,â€ katanya, lalu tertawa. Sementara itu, Sherly Ocktavia memiliki pengalaman yang berbeda. Perempuan kelahiran 1989 tersebut mengatakan, anak kedua dengan pertama berbeda. Anak pertama dulu hanya tiga bulan awal DBF (direct breast feeding), selebihnya ASI pakai botol. Anak kedua sejak awal sampai sekarang usia 10 bulan full DBF. ’’Bersyukur dari awal lahir ASI langsung keluar. Tidak ada hambatan sama sekali, selalu lancar. Lebih bersyukur lagi dikasih rezeki ASI berlimpah. Jadi bisa berbagi sama bayi lain,â€ bebernya. Beda ibu, beda cerita. Setelah melahirkan Kathleen, tensi darah Melisa Kusnadi tinggi. Tembus 200. Dia terdiagnosis pospartum preeklampsia. Karena itu, dia harus mengonsumsi obat. Di kasusnya, obat yang diminum masuk jenis obat keras. â€Tidak bisa untuk ibu menyusui. Sehingga selama 10 hari terhitung dari melahirkan, ASI-nya harus aku buang. Termasuk kolostrum,â€ jelasnya. Melisa merasa beryukur karena semua anggota keluarganya mendukung. Tidak terkecuali sang suami. Dia berusaha untuk tak memikirkan kondisinya. Sebab, semakin dia berpikir lebih jauh dan dalam, tensinya tak akan turun. Dokter umum sekaligus konselor laktasi RS Pondok Indah-Bintaro Jaya Nia Wulan Sari CIMI menyatakan tak perlu khawatir ketika ASI tidak keluar pada hari pertama melahirkan. Bayi baru lahir memiliki cadangan makanan di dalam tubuhnya. Cadangan makanan diperoleh bayi dari plasenta selama berada di rahim ibu. – Ada beberapa masalah menyusui yang sering terjadi. Pencetusnya bisa dari dalam diri busui hingga orang sekitar. Apa saja? – Masalah dari kondisi ibu seperti ASI belum lancar keluar karena posisi perlekatan bayi yang belum baik. Sehingga mengakibatkan puting ibu lecet dan terasa nyeri saat menyusui, payudara bengkak, hingga bentuk puting datar/retracted. – Kurangnya pengetahuan dan informasi ibu mengenai laktasi. – Keluarga tidak mendukung pemberian ASI. – Anjuran pemberian susu formula sejak dini dari orang-orang di sekitar ibu. – Tenaga kesehatan yang kurang sabar/kurang berpengalaman dalam memberikan edukasi laktasi pada ibu menyusui sehingga kurang memberikan dukungan kepada ibu. – Pendapat negatif orang lain. (kbe/fjr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: