Jakarta Islamic Center yang Terbakar, Awalnya Lokalisasi Kramat Tunggak, Tempat Pelacuran Terbesar di Asia Ten

Kamis 20-10-2022,07:06 WIB
Editor : redaksimetro01

karawangbekasiekpres- Masjid Jami' Jakarta Center terbakar pada Rabu, 19 Oktober 2022 sore kemarin. Kejadian ini sontak mengejutkan masyarakat dan banyak pihak. Masjid yang terletak di Jalan Kramat Jaya Raya Nomor 1, RT 06/RW 01, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara itu dilaporkan terbakar pada pukul 15.24 WIB. Berdasarkan rekaman video yang beredar di internet, tampak kepulan asap hitam membubung tinggi dari kubah masjid.  Menjadi sorotan banyak pihak, tahukah kamu ada fakta menarik mengenai masjid satu ini? Ternyata, sebelum dibangun menjadi masjid, dulunya daerah ini merupakan tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Sebelum menjadi Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, lokasi di mana JIC berdiri sempat menjadi tempat prostitusi yang dikenal dengan nama lokalisasi Kramat Tunggak. Baca Juga: Kubah Masjid Jami Jakarta Islamic Center Kebakaran Parah Tempat tersebut merupakan lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta Utara yang disebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara pada era 1970-1999. Sebelumnya, di sana berdiri Lokasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) Kramat Tunggak yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin. Lokres tersebut awalnya dibangun untuk membina pekerja seks di Jakarta yang kebanyakan berasal dari Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan. Namun, alih-alih jadi tempat pembinaan, lokasi berkumpulnya para pekerja seks di sana malah menjadi lahan basah bagi sejumlah muncikari untuk membujuk para pekerja seks kembali bekerja sebagai wanita penghibur. Ali Sadikin merupakan Gubernur DKI Jakarta yang memerintah selama 11 tahun, yaitu dari 1966 sampai 1977. Selama masa kepemimpinannya, ia banyak andil penting dalam pembangunan kota Jakarta. Sebut saja Taman Impian Jaya Ancol, Kebun Binatang Ragunan, Taman Ismail Marzuki (TIM) hingga Lokalisasi Pelacuran Kramat Tunggak, merupakan tempat-tempat besutan pria yang dulu akrab dipanggil Bang Ali ini. Bukan hanya bangunan-bangunan ‘ikonik’ Jakarta, selama masa kepemimpinannya dimana saat itu Jakarta sedang dalam masa pembangunan, tak jarang ia membuat kebijakan-kebijakan kontroversial, meski cercaan dan komentar selalu datang terhadap kebijakannya, namun disisi lain ia juga dipuja karena keberhasilannya dalam membangun Jakarta. Dunia gemerlap perjudian di Jakarta saat itu, tidak serta merta membuat Bang Ali berpikir untuk menghentikannya, ia malah melegalkan perjudian dan memberlakukan pajak kepada para penggiat judi, lantas kebijakan ini menjadi kontroversial, ditambah lagi dengan kebijakannya terhadap lokalisasi prostitusi di Kramat Tunggak. Bukan tanpa alasan keputusannya membangun lokalisasi prostitusi di Kramat Tunggak, Jakarta Utara dikarenakan gusarnya Bang Ali melihat banyak PSK yang menjajakan diri di jalan-jalan utama di Ibu Kota terutama di sekitar Senen, Jakarta Pusat. Bang Ali menilai bahwa pemberantasan pelacuran merupakan masalah yang sangat sulit ditanggulangi. Meski begitu berkeliarannya para pekerja komersial di ruang terbuka tanpa adanya sebuah lokalisasi sebagai pembatas juga tidak baik, sedang usaha membubarkan mereka tidaklah sesederhana itu. Dalam pikirannya, daripada mereka berkeliaran dan mengganggu ketertiban umum serta tidak enak dipandang ketika tamu asing datang ke Jakarta, akhirnya tercetuslah lokalisasi untuk para pencari hidung belang itu di wilayah Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Ketika itu wilayah yang satu ini jauh terpencil dari pusat kota. Ali Sadikin dalam menerapkan kebijakannya untuk melokalisasi pelacuran ke Kramat Tunggak, terinspirasi oleh tempat pelacuran di Bangkok, Thailand yang telah dilokalisasi oleh pemerintahnya dan mendatangkan keuntungan yang besar bagi pemerintah. Lokalisasi Kramat Tunggak berdiri sejak tahun 1970. Tempat ini sudah ada sejak tahun 1950an walaupun belum begitu terkenal. Saat itu lokasi praktek prostitusi di Kramat Tunggak masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Lokalisasi dengan luas 11,5 hektare itu pada awalnya hanya ada 300 pelacur dan 76 germo, tapi pada dekade 1990-an membengkak menjadi 2.000-an pelacur dan 228 germo Tak heran setelah itu, bahkan mungkin hingga kini Kramat Tunggak menjadi sangat populer dikalangan penikmat wisata seks di Jakarta dan daerah lain. Sebagai tempat lokalisasi, tempat tersebut mengalami perkembangan yang cukup signifikan, terutama pada dekade 1980-1990. Meski pada kenyataannya banyak kontroversi yang turut mewanai kebijakan Bang Ali tersebut, akan tetapi pada kenyataannya lokalisasi Kramat Tunggak banyak memberi keuntungan yang juga digunakan untuk pembangunan. Situasi tersebut membuat gerah masyarakat sekitar, hingga akhirnya di masa kepemimpinan Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia membentuk tim kajian pembongkaran. Hal tersebut berujung pada penutupan lokasi ini. Kramat Tunggak secara resmi ditutup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 31 Desember 1999. Setelah Kramat Tunggak ditutup, tempat tersebut tak serta merta diputuskan menjadi Islamic Center. Dikutip dari situs resminya, sempat muncul pula sejumlah gagasan, seperti membangun pusat perbelanjaan (mal), perkantoran, dan lainnya, di lahan tersebut. Namun, Sutiyoso memiliki ide membangun Islamic Center. Salah satunya untuk menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda. Setelah konsultasi terus-menerus dengan masyarakat, ulama, hingga praktisi, JIC pun diresmikan oleh Sutiyoso pada 4 Maret 2003. Diketahui, masjid di Jakarta Islamic Center dirancang oleh mendiang Ahmad Numan atau Ie Muhammad Numan, arsitek spesialis masjid. Masjid tersebut berdiri di atas lahan seluas 109.435 meter persegi, dengan luas bangunan masjid 2.200 meter, yang dapat menampung hingga 20.680 jemaah. Dikutip dari situs resmi Jakarta Islamic Center, Numan juga merupakan perancang Masjid Salman ITB Bandung yang tersohor. Begitu banyak masjid yang dirancangnya, baik kecil maupun besar. Karena hal itu, dia mendapat julukan arsitek "seribu masjid".  Dibangun dengan Anggaran Rp 700 Miliar Pembangunan Jakarta Islamic Center memakan biaya hingga Rp 700 miliar. Selain untuk masjid, anggaran tersebut juga digunakan untuk mendirikan gedung sosial budaya dan rangkaian bagunan wisma atau penginapan kantor bisnis. Sehingga, kehadiran Jakarta Islamic Centre hadir tak sekadar sebagai tempat ibadah, tapi juga menjadi salah satu pusat peradaban Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, serta menjadi simbol kebangkitan Islam. (disway)

Tags :
Kategori :

Terkait