“Hal ini karena pemerintah akan dipaksa menjalankan kebijakan politik yang jauh lebih demokratis,” jelasnya.
BACA JUGA:Sejoli Akhiri Hidup dengan Cara Tragis di Kamar Hotel Tinggalkan Surat Wasiat, Begini Pesannya!
Menurut Ginting, salah satu kuncinya adalah komunikasi politik untuk membuka ruang dialog dan menghindari kecurigaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu pun berharap, jelang pelaksanaan Pemilu 2024, keberadaan oposisi jangan dilakukan dengan kebijakan asal beda dengan pemerintah.
BACA JUGA:Pecah Rekor Baru, Capaian PAD Bekasi 2022 Tembus 2,06 Triliun, Tahun Ini Target Ditingkatkan
Sebab kata Ginting, oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah. Oposisi, tegasnya, justru harus dimaknai sebagai eksistensi politik yang memberikan alternatif pilihan bagi kebijakan pemerintahan.
Dia menambahkan, kalau ide, usulan, dan jalan keluar dari oposisi justru lebih bagus daripada yang dibuat pemerintah, maka jangan malu, ikuti saja saran dari kekuatan oposisi.
“Saran dari oposisi bukan barang haram dalam politik," kata kandidat doktor ilmu politik itu.
BACA JUGA:Nah Lho, Besok Akan Dilakukan Penertiban PKL di Area Masjid Al Jabbar
Di era reformasi saat ini, menurut Ginting, merupakan kesempatan untuk memperbaiki iklim demokrasi dari kegagalan membangun demokrasi di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang mengharamkan kelompok atau partai oposisi.
"Di era Presiden Sukarno, oposisi dicap sebagai kontra revolusi dan antek-antek neokolonialisme. Di era Soeharto, oposisi dimaknai sebagai anti-Pancasila dan kelompok ekstrem. Inilah kekeliruan yang harus kita perbaiki di era reformasi," pungkas Ginting. ***