karawangbekasi.disway.id - Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa 9 tahun sampai 27 tahun oleh tiga organisasi desa seperti Apdesi asosiasi badan permusyawarahan desa nasional (DPP Abpednas), dan persatuan perangkat desa seluruh Indonesia (DPN PPDI) menimbulkan prokontra.
Sejumlah pihak banyak tidak setuju dengan berbagai alasan. Lantas, apa saja dampak yang terjadi jika masa jabatan kades disahkan menjadi sembilan tahun?
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Karawang, Wiwiek Krisnawati melalui Kabid Pemdes Andry Irawan mengatakan, ada dua dampak besar yang akan dihadapi pemerintah daerah jika wacana perpanjangan masa jabatan kades ini disahkan pemerintah.
BACA JUGA:Setelah Aksi Tuntut Masa Jabatan Bisa 9 Tahun, Sekarang APDESI Minta Masa Menjabat Kades 27 Tahun?
Dampak pertama adalah penyesuaian jadwal Pilkades yang akan berubah serta proses pengelompokan kades yang berakhir masa jabatannya.
"Pertama pasti jadwal harus disesuaikan, karena berbeda dari kabupaten/kota lain yang (pelaksanaan Pilkades) nyaris serentak satu kali. Kalau di Karawang yang berakhir masa jabatannya terdiri menjadi empat kelompok," ungkap Andry, saat diwawancara KBE, Selasa, (24/1) kemarin.
BACA JUGA:Alamak, Baru Setahun Dibangun Tanggul Sungai Citarum di Muargembong Ambrol
Namun demikian jelasnya DPMD Kabupaten Karawang akan melaksanakan apa pun keputusan pemerintah pusat terkait masa jabatan kades dan lainnya yang tengah jadi wacana tersebut.
Menurutnya tentu ada dampak positif dan negatif, sebagai pemerintah daerah tentu melihat dampak dari kebijakan ini sebagai tantangan baru.
BACA JUGA:Jabar Terdepan dalam Toleransi Keberagaman
Pasalnya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun kebijakan pengelompokan gelombang kepala desa.
Diantaranya, kemampuan keuangan daerah, ketersediaan penjabat kepala desa, dan yang paling sulit adalah pengelompokan yang habis masa jabatan.
BACA JUGA:KKP Jajaki Pengembangan Tambak Udang Modern di Sumba Timur
"Kebetulan yang habis masa jabatan di Karawang itu terbagi menjadi empat kelompok, sementara dalam peraturan undang-undang maksimal tiga kali," ungkap mantan Kasie Tata Kelola Desa ini.