Di puncak megah Pegunungan Sanggabuana, sebuah fenomena yang merinding telah menguak. Ritual tak lazim, di mana celana dalam dianggap sebagai pintu gerbang untuk membuang sial, melingkupi atmosfer dengan nuansa yang menggetarkan. Konon celana dalam tadi akan dibawa peri hutan. Ini adalah lebih dari sekadar sebuah upacara – ini adalah kepercayaan yang menghidupkan pegunungan dengan aura yang magis.
Ketua Ekspedisi Flora dan Fauna Pegunungan Sanggabuana, Bernard T Wahyu, telah mengungkapkan bahwa dunia tersembunyi ini terbuka bagi mereka yang memburu rahasia dan berani menyentuh batas kepercayaan. Saat ekspedisi meluncur di balik lebatnya pepohonan, terungkaplah rahasia gelap di balik empat mata air suci: Pancuran Mas, Pancuran Kejayaan, Pancuran Kahuripan, dan Pancuran Sumur Tujuh.
Namun, tidak hanya mata air yang memberikan semangat pada ritual ini. Makam-makam yang tertidur di bawah dedaunan dan batu-batu kuno juga ikut berdansa dalam ritual ini. Makam Eyang Haji Ganda Mandir, Taji Malela, Kyai Bagasworo, Ibu Ratu Galuh, Eyang Abdul Kasep, Eyang Sapujagat, Eyang Langlang Buana, Eyang Jagapati, dan Eyang Cakrabuana, semuanya berperan dalam upacara yang menyentuh sisi gaib dari gunung ini.
BACA JUGA:Presiden Apresiasi Para Pelaku Batik di Tanah Air di Gelaran Batik Nusantara
Luar biasa, ritual ini tidak hanya mencengkeram hati dan pikiran, tetapi juga menggenggam dompet. Bernhard T Wahyu menjelaskan bahwa setiap orang yang berani menembus tirai gaib ini diwajibkan membayar tarif sekitar Rp 250 ribu per kepala. Ini bukan hanya sekadar membayar panduan spiritual, melainkan juga "ubo rampenya," elemen yang memiliki makna lebih dalam dalam pelaksanaan ritual ini.
Namun, keindahan mistis ini memiliki sisi lain yang lebih kelam. Di balik tirai kepercayaan yang terhampar di Pegunungan Sanggabuana, ada cerita kelam tentang pencemaran lingkungan dan ketidakpastian kesehatan. Sampah-sampah celana dalam dan berbagai barang yang ditinggalkan menodai kecantikan alam, mengotori pancuran-pancuran suci dan mengotori aliran air yang jernih. Pertanyaan mengerikan muncul: apakah pengunjung, yang datang dengan harapan berkah, membawa juga penyakit yang tak terlihat?
Sebagai seorang penjelajah yang peduli akan keaslian dan keberlanjutan, Bernhard T Wahyu menggarisbawahi urgensi penelitian lebih lanjut terkait sejarah dan budaya di balik ritual ini. Apakah makam-makam dan situs-situs ini memiliki nilai cagar budaya atau sejarah yang layak dijaga? Pertanyaan ini melingkupi pengamatan kritis terhadap fenomena yang begitu dramatis ini.