KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID - Kasus adanya dugaan penggelembungan suara di ratusan tempat pemungutan suara untuk memenangkan salah seorang calon anggota legislatif di Daerah Pemilihan (Dapil) 2, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi terus bergulir di Mahkamah Konstitusi.
Sebanyak tiga saksi membeberkan praktik dugaan pencurian suara pada Pemilihan Legislatif di Kabupaten Bekasi. Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif tahun 2024 yang digelar Mahkamah Konstitusi. Perkara dengan nomor 59-02-02-12/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 itu digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi/ahli.
Perselisihan ini terjadi pada Pileg DPRD Kabupaten Bekasi daerah pemilihan 2, tepatnya di Kecamatan Cikarang Barat. Dalam materi gugatan disebutkan bahwa praktik pergeseran suara terjadi 9 dari total 10 desa di Cikarang Barat. Praktik kecurangan itu terjadi 317 TPS dengan total suara yang digelembungkan mencapai 1.522 suara.
Salah seorang saksi, Iden membenarkan dugaan praktik penggelembungan suara tersebut. Iden merupakan petugas pemungutan suara di Desa Telaga Asih Kecamatan Cikarang Barat.
BACA JUGA:Pelajari Perda Riset dan Inovasi Daerah, Pansus III DPRD Jabar Berkunjung Ke Provinsi Lampung
Di desanya tersebut, Iden mengungkapkan adanya praktik pergeseran suara di 37 TPS dengan jumlah mencapai 395 suara. Pergeseran suara itu terjadi untuk Partai Gerindra dan suara caleg nomor urut 4 ke caleg nomor urut 1.
Hal senada diungkapkan dua saksi lainnya yakni Nur Yusuf (PPS Desa Telajung) dan Riyan Ramadani (PPS Jatiwangi). Yusuf menyebut terjadi pergeseran suara di 61 TPS di Desa Telajung dengan total 198 suara. Sedangkan Riyan mengungkapkan pergeseran suara di Desa Jatiwangi terjadi di 16 TPS dengan total 70 suara. Kedua menyebut suara tersebut bergeser dari suara partai ke suara caleg nomor urut 1, Gerindra.
Selain tiga saksi fakta, turut dihadirkan pula saksi ahli yakni Jamin Ginting yang merupakan pakar hukum Universitas Pelita Harapan. Jamin berpendapat, kesaksian PPS menjadi penguat bahwa indikasi pergeseran suara benar terjadi.
Gugatan itu dikuatkan juga oleh adanya formulir hasil penghitungan yang tidak ditandatangani oleh seluruh komisioner PPK. Hal itu dapat diindikasikan adanya kekeliruan dari penghitungan tersebut. Praktik kecurangan terkait pergeseran suara ini pun telah dibenarkan dengan putusan Bawaslu tentang pelanggaran administratif yang dilakukan PPK hingga berujung pada pemecatan.
“Terdapat indikator-indikator yang digolongkan sebagai pelanggaran hukum yang didalilkan dalam perkara ini antara lain pergeseran perubahan suara partai, peralihan suara antar caleg, adanya anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang tidak menandatangani Formulir D Hasil Kecamatan, terdapat Catatan Kejadian Khusus oleh saksi,” kata dia.
Untuk itu, lanjut Jamin, putusan tentang hasil penghitungan suara yang dikeluarkan panitia pemilihan dikategorikan cacat hukum. Karena diterbitkan dengan dugaan pelanggaran penggelembungan suara hingga pemecatan komisioner PPK karena diketahui adanya pelanggaran berat oleh Bawaslu.
“Lalu, keputusan Bawaslu tentang pelanggaran administratif, sampai keputusan pemberhentian dengan tidak hormat atau pemberhentian sementara dari PPK, bahkan ada juga kericuhan saat rekapitulasi di tingkat Kecamatan Cikarang Barat. Putusan terkait yang dikeluarkan oleh Panitia Pemilihan Umum 2024 khususnya yang terlampir dalam lampiran yang disampaikan Pemohon memiliki cacat hukum,” ucap Jamin.
Di sisi lain, KPU sebagai termohon juga menghadirkan saksi yakni mantan Ketua PPK Cikarang Barat, Bongsu Syahputra. Dalam kesaksiannya, Bongsu membenarkan penghitungan suara di wilayahnya sempat diwarnai kericuhan hingga formulir hasil penghitungan pun tidak ditandatangani oleh tiga komisioner PPK.