KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID - Sebanyak 24 korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) modus jual-beli organ ginjal jaringan internasional di Kamboja menerima restitusi atau uang ganti rugi sebesar Rp 33.314.250 per setiap kepala dari jumlah keseluruhan Rp 799.542.000. Hal itu tertuang berdasarkan hasil putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dengan nomor perkara 501/PID.SUS/2023/PN.CKR per tanggal 5 April 2024.
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Dwi Astuti Beniyati mengatakan tindak TPPO ini atas nama terdakwa Hanim alias Teguh dan Maman Rohani dengan perkara perdagangan ginjal dengan total tersangka 15 orang. Jumlah restitusi itu mencapai Rp 799.542.000.
"Tujuan dari pemberian restitusi ini adalah bentuk ganti rugi atau pertanggungjawaban yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban," tutur Dwi Astuti kepada Cikarang Ekspress pada Rabu (29/05).
Ia menuturkan uang restitusi tersebut dibebankan kepada pelaku atas kerugian materiil dan immateriil yang diderita korban atau ahli waris berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Cikarang pada 5 April 2024. "Jadi masing-masing korban menerima uang restitusi senilai Rp33.314.250," kata dia.
BACA JUGA:Pelajari Perda Riset dan Inovasi Daerah, Pansus III DPRD Jabar Berkunjung Ke Provinsi Lampung
Dalam penyerahan uang restitusi ini, Dwi menyatakan ini merupakan sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku tindak pidana sehingga membantu proses pemulihan korban dari penderitaan akibat dari Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kendati begitu, perkara TPPO ini berupa perdagangan organ tubuh ginjal oleh 15 orang terdakwa. Seluruh korban dikumpulkan di rumah penampungan yang berlokasi di wilayah Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi sebelum menjalani operasi pengangkatan hingga penjualan ginjal di Kamboja.
"Penyerahan restitusi di Kejari Kabupaten Bekasi ini adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya dua orang korban perkara TPPO juga menerima restitusi pada 17 Mei 2022 di Kejaksaan Agung," ucap dia.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Ade Tajudin Sutiawarman menyatakan perkara TPPO merupakan bentuk perbudakan manusia di era modern yang menjadi salah satu perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
"Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara berkembang lain telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata dia.
Ade juga menyatakan TPPO memiliki dampak negatif yang merugikan korban, melibatkan konsekuensi bersifat fisik, psikis, dan sosial ekonomi. Korban kerap mengalami trauma fisik akibat kekerasan atau eksploitasi yang mereka alami.
Secara psikologis, mereka mengalami gangguan mental, kecemasan, dan stres pasca-trauma yang signifikan. Selain itu juga dampak sosial ekonomi yakni kerugian kehilangan pekerjaan, pendidikan, dan serta reputasi sosial.
"Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu memulihkan korban TPPO adalah melalui mekanisme restitusi," ucap dia.