KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID - Dua warga Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, mengaku belum menerima pelunasan secara utuh setelah pembayaran tanah yang telah mereka jual kepada seorang perantara desa sejak tahun 2022.
Tanah yang kini telah dikuasai PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TPRN) untuk pembangunan pelabuhan pendaratan ikan itu masih menyisakan sengketa, sementara warga menuntut hak mereka.
Tarini (57), salah satu warga yang menjual tanahnya, mengungkapkan bahwa tanah yang dijualnya itu bermula saat pihaknya membutuhkan uang untuk biaya pendidikan anak-anaknya setelah sang suami meninggal dunia.
Sehingga, apa boleh buat, ia pun harus rela menggadaikan sertifikat tanahnya seluas 144 meter kepada perantara desa seharga Rp 110 juta. Namun, hingga kini, masih ada sisa Rp 10 juta yang belum dibayarkan.
“Saya disamperin terus sama anak buahnya pak Lurah desa Segarajaya. Saya minta 1 meter Rp 1 juta tapi dia gak mau dengan alasan sudah sertifikat. Semua total tanah ada 144 meter, diborong sama dia Rp 110 juta,” kata Tarini kepada Cikarang Ekspres di Tarumajaya pada Jumat (31/1).
Ia menyebutkan sudah dua tahun berjalan, pembayaran yang diterima pihaknya tak kunjung lunas dimana menyisakan kekurangan yang belum dilunasi oleh perantara yang mengaku sebagai anak buah kepala Desa Segarajaya.
Tarini pun menyatakan bahwa pembayaran memang sudah diterimanya sebagian dengan dilakukannya pembayaran secara dicicil. Ihwal pembayaran yakni Rp 20 juta, Rp 30 juta, Rp 15 juta, Rp 15 juta, Rp 10 juta dan Rp 10 juta dengan total pembayaran Rp 100 juta.
“Ini minta Rp 10 juta lagi udah kayak orang ngemis ngomongnya nanti nunggu lunas kalau sertifikat keluar. Kata saya masalah sertifikat mah gampang anak saya kerja yang bayar sisa 1 tahun lagi (cicilan),” tambah Tarini.
Diketahui, Tarini membeli lahan ditahun 1985 dimana ketika itu wilayah pesisir Desa Segarajaya masih berbentuk daratan. Ia juga mengaku tidak mengetahui bahwa tanah yang dibeli oleh perantara pihak desa akan dijual kembali ke perusahaan untuk pembangunan pelabuhan Tarumajaya.
“Dari pertama saya udah sertifikat hak milik. Saya beli dari tahun 1985, awal mulanya mah daratan. Tadinya mah saya butuh, berhubunng sertifikat lagi digadai, saya udah bilang ke dia (perantara) gak bisa karna posisi sertifikat di bank. kata dia tidak apa apa yang penting anak ibu bayar cicilan dengan benar,” terang Tarini.
Hal serupa juga dialami oleh Arni (54) warga Kampung Paljaya. Ia memiliki tanah seluas 1.540 meter yang dibeli oleh perantara yakni pihak desa sebesar Rp 500 ribu permeter dengan total harga jual Rp 750 juta. Pembayaran yang diperantarai oleh pihak desa pun juga mandek. Arni mengaku lahan miliknya itu masih berbentuk Akta Jual Beli (AJB).
“Udah dua kali pembayaran pertama RP 150 juta, kedua Rp 500 juta. Terus masih ada sisanya yang 200 meter itu belum ada penyelesaian. Surat-surat masih ada sama saya, belum ada pindah tangan, masih AJB. Tapi sama dia udah diserfitikatin malah. Padahal pengalihan atas nama belum,” tutur Arni.
Transaksi jual beli itu, lanjut Arni, juga dilakukan pada tahun 2022. Dari 200 meter lahan miliknya yang belum dibayar terdapat kekurangan sekitar Rp 100 juta. Arni telah mencoba menagihnya hingga ke Kantor Desa namun tidak dapat menjumpainya. Padahal lahan miliknya yang 200 meter tersebut telah diuruk.
“Kalau saya datengin, dia ngumpet lurahnya. Kalau gak diuruk gak jadi masalah gak dibayar tidak apa apa yang penting lahan saya jangan diuruk, tapi sama di diuruk,” keluhnya.