Tarkam, Hayaa ala Falaah!

Tarkam, Hayaa ala Falaah!

Oleh: Mahesa Bahagiastra KEMUNCULAN pesepak bola muda asal Karawang di kancah nasional seperti Saiful yang kini bermain untuk Persebaya. Juga Cahya Supriadi, pemain Persija Jakarta yang kini menjadi kiper utama timnas U-19 menjadi signifier "penanda‟ bahwa bukan tidak mungkin, ke depan, Karawang masuk ke dalam list kota penyumbang bibit pemain bola unggul di Indonesia. Tentu, kita juga perlu senang dan mengapresiasi niatan PSSI Karawang bakal serius juga fokus melakukan pembinaan para pesepak bola muda. PSSI Karawang menangkap signifier dari signified (dalam istilah semiotik). Menangkap penanda dari tanda. Signifiernya adalah Saiful dan Cahya. Signifiednya adalah Karawang punya potensi melahirkan bibit-bibit pesepak bola muda unggul. Lalu bagaimana caranya? ini yang bakal menjadi pertanyaan yang susah. Tapi bukan tidak mungkin jadi hal yang bisa dijawab, juga berjalan baik. Dan perlu kita dukung bersama-sama. Tapi ada hal lain yang ingin saya tulis. Yakni soal tarkam dalam sepak bola. Juga konteks serta potensinya untuk kemajuan banyak hal, sosial, olahraga, hingga ekonmi rill di Karawang. Kita sama-sama tahu, definisi paling umum tarkam bukan hanya diartikan pertandingan antar kampung. Tapi juga antar RT, RW, desa, kecamatan, klub-klub non-profesional. Juga mencapakup level festival, liga atau turnamen. Meski akronim tarkam hanya menagkomodir kata "antara dan kampung‟. Syahdan, sebetulnya tanpa disadari, tarkam memberikan sumbangsih banyak sekali bukan hanya terhadap calon pesepak bola, tapi juga terhadap ekonomi, sosial, juga kesehatan warga negara, dan negara. Dan saya menjadi salah satu orang yang mendukung tarkam perlu diperbanyak, serta digelar terus-menerus di banyak tempat. Tarkam bukan hanya sekadar pertandingan sepak bola biasa. Juga bukan hanya sebatas karpet awal bagi para calon pesepak bola merasakan atmosfer turnamen. Tidak, tidak sekadar fulstop di situ. Baru-baru ini Founder Panditfooball, Zen Rachmat Sugito menjelaskan tarkam itu juga cuan dalam arti yang positif. Putaran uangnya untuk menumbuhkan ekonomi rill sangatlah besar. Bahkan mungkin lebih besar dibanding putaran uang di liga profesional. Jika menghitung uang langsung, dan tak langsungnya. Hasil riset UEFA, kata Zen, yang memakai pendekatan social return of investment (SRoI), dari 7 juta orang eropa yang bermain sepak bola tarkam (dalam istilah barat:grassroot football) telah menghasilkan putaran ekonomi 3,9 triliun euro dalam satu tahun. Besar sekali, dan menjadi masuk akal jika yang dipakai oleh UEFA risetnya memakai pendekatan SRoI. Pendekatan ini memungkinkan kita bisa menghitung uang tak langsung dari kegiatan sepak bola tarkam. Tanpa kita sadari, pada setiap turnamen tarkam, pasti akan ada putaran uang di, misalnya jasa laundry jersey, bensin kendaraan pemain dan penonton, para pedagang UMKM yang adalah warga sekitar juga, parkiran, hingga uang saweran ke pemain jika mencetak gol (lumrah di tarkam). Putaran ekonominya sangat rill. Dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Belum lagi semakin sering lapangan kampung dipakai turnamen, menuntut setidaknya pemerintah desa untuk menyiapkan dana perawatan lapangan. Infrastruktur yang baik juga masuk ke dalam uang tak langsung, tho? Zen juga menjelaskan, juga dari hasil riset UEFA dengan pendekatan SRoI, 52,5% orang eropa itu setiap hari berpotensi melakukan tindakan kriminal. Dan sepak bola tarkam:grassroot punya peran menurunkan angka potensi tindakan kriminal warga yang angka penurunanya mencapai 15%. Kok bisa? Begini, pengalaman saya pribadi, anak-anak muda yang setiap malam nongkrong, begadang, sambil nenggak miras, jika esok harinya dia akan bermain bola, aktivitas nongkrong, begadang, dan mabuknya untuk sementara akan setop. Angka kriminalitas akan menurun dari sana. Mungkin itu yang dihitung oleh UEFA juga. Negara juga diuntungkan karena mengefesiensi cost belanja negara. Bayangkan jika si anak muda itu tidak main bola dan memilih mabuk lalu melakukan tindakan kriminal, negara akan mengeluarkan uang setidaknya untuk membiayai makan/minum selama dia di penjara, belum lagi cost air dan listrik dia selama di penjara dan sebaginya. Dalam riset UEFA, sepak bola tarkam berhasil menghemat uang negara 817 juta euro per orangnya. Tak hanya itu saja yang menjadi alasan kenapa kita harus memperbanyak liga tarkam. Satu riset di Jerman. Sepak bola tarkam, juga dikatakan Zen, berhasil total memberikan impact saving budget negara senilai 13,9 billion euro. Sebanyak 4,9 billionnya merupakan saving untuk anggaran kesehatan negara. Tentu sejak kita kecil tahu olah raga pangkal sehat. Hitung-hitungan melalui pendekatan yang dipaki UEFA memang tak pernah menjadi hitungan di negara kita untuk mengukur betapa banyaknya sumbangsih liga tarkam bukan saja untuk sepak bola. Tapi untuk hal yang lebih luas lagi. Sebaliknya, pernyataan yang sangat sering didengar di kita adalah sebuah kalimat “dari sekian ratus juta warga, kenapa gak bisa mencari 11 pemain sepak bolaâ€ ucapan itu saya haqqul yaqin diucapkan tanpa pernah meninjau rasio dari angka ratusan juta warga negara itu ada berapa persen warga yang aktif bermain bola, di tarkam misalnya---lalu bandingkan dengan negara yang hanya penduduknya puluhan juta berapa angka rasio keterlibatan warganya bermain bola. Bisa jadi ini problemnya. Dalil-dalil sosial dan ekonomi rill pada liga tarkam sengaja saya buat jadi headline dalam tulisan ini. Kebetulan, Zen Rachmat Sugito menyediakan perkakas:datanya, yang tinggal saya comot dalam upaya meyakinkan pada banyak orang jika liga tarkam perlu digalakkan di seluruh kampung-kampung. Hanya saja saya usul, mungkin biar agak keren, pada setiap liga di tarkam-tarkam, panitia perlu mensyaratkan setiap tim yang daftar harus punya pelatih. Meski pelatih tak berlisensi. Pelatih yang bukan pelatih dalam artian dan tolok ukur liga profesional. Meski terdengar seperti aturan formalitas saja, tapi saya yakin, jika mensyaratkan adanya pelatih, setiap tim akan berdiskusi tentang formasi dan taktik setiap kali akan bertanding. Meski diskusi seadanya. Dan hampir pasti di setiap tim akan ada 1 atau 2 orang yang punya kuriositas untuk memilih cari-cari pengetahuan formasi dan taktik lewat google, YouTube, atau TikTok. Jika berjalan, misalnya liga tarkam kecamatan antar desa, atau liga tarkam desa antar RW, atau liga antar klub non/semi-profesional disyaratkan punya pelatih saat daftar turnamen, berarti minimal, bakal tumbuh potensi bibit intelektual sepak bola per desa, per RW, atau di masing-masing klub non/semi- profesional. Ini perubahan secara kultural yang sangat amat progresif dalam skena mengbal pertarkaman. Suer, serius! (Sengaja saya bold di bagian ini). Aturan wajib memiliki pelatih dalam form pendaftaran liga tarkam juga bisa membantu PSSI Karawang bukan sekadar mencetak bibit pesepak bola unggul, tapi kultur dan sistem yang bisa mendukung PSSI bisa mencetak pelatih-pelatih unggul. Apalagi Unsika juga punya prodi PJKR yang menyokong SDM yang dibutuhkan.Setidaknya sarjana PJKR kemungkinan tahu formasi dan taktik dalam sepak bolanya lebih tinggi, dan masing-masing kampung di Karawang punya warga alumnus PJKR, deh. Tulisan ini saya buat dengan dalil yang paling rasional kenapa tarkam perlu diperbanyak. Semoga bisa membantu memudahkan PSSI Karawang menyetak dan membina bibit-bibit pesepak bola unggul. Tentu, saya juga mengerti, memperbanyak tarkam saja tak cukup. Saiful dan Cahya bukan berangkat dari sebatas tarkam, lalu SSB, terus dilirik klub profesional. Tidak. Pasti ada orang, minimal orang baik yang menjadi akses atau membawa/menjembatani Saiful dan Cahya ke klub-klub profesional. Sepak bola adalah permainan. Dan manusia adalah manusia bermain (homo ludens). Sepak bola modern dalam konsepsi Johan Huizinga tersebut, ada pada level atau tingkatan tertinggi sebuah permainan yang disebut Agoni, bukan level permainan memesis atau mikiri semisal anak kecil main masak-masakan (permainan imajinatif). Sepak bola adalah permainan rill manusia. Permainan yang konkret. Dalam permainan di tingkat Agoni, Huizinga dalam penejelasannya memberi tahu, dengan sendirinya unsur yang non-ludens (yang di luar permainan) akan menempel di permainan Agoni (otomatis:diundang atau tidak diundang). Artinya, sepak bola modern tidak berhenti di dua kali 45 menit. Keringat olahraganya boleh jadi hanya bercucur 90 menit plus 3 menit tambahan waktu. Tapi basah kuyup keringat industri sepak bolanya, misalnya, itu pasti kerja selama full 24 jam. Begitu pula dalam konteks mereplikasi-mereproduksi Saiful dan Cahya. Memperbanyak sekolah, liga skala kampung dan mencetak pelatih serta intelektual sepak bola saja tidak cukup. PSSI juga perlu membawa sebanyak-banyaknya orang yang bisa menjembatani belasan bahkan puluhan Saiful-Saiful, dan Cahya-Cahya lain di Karawang untuk tiba di klub profesional. Itu unsur non-ludens dari sepak bola sebagai permaianan. Sebagai penutup, balik lagi, saya senang kemunculan Siful dan Cahya dijadikan PSSI Karawang sebagai signifier:penanda jika ada sinfied:tanda memungkinkan Karawang melahirkan bibit-bibit pesepak bola muda unggul. Dipertegas juga dengan stamen Ketua PSSI Karawang yang akan fokus melakukan pembinaan bibit-bibit pesepak usia muda. Sejalan dengan itu, tulisan ini pun dibuat sebagai signifier:penanda jika kami, mendukung komitmen PSSI Karawang untuk memajukan sepak bola Karawang. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: