Kisruh Minyak Goreng Tak Kunjung Tertangani

Kisruh Minyak Goreng Tak Kunjung Tertangani

Oleh BAGONG SUYANTO  PASOKAN dan harga minyak goreng hingga saat ini masih bermasalah. Alih-alih tertangani, pemerintah justru membatalkan kebijakan harga eceran tertinggi Rp 14.000 per liter dan mengembalikan harga minyak goreng pada mekanisme pasar (Jawa Pos, 17 Maret 2022). Kebijakan satu harga diakhiri karena upaya pemerintah untuk menambah pasokan minyak goreng di lapangan ternyata tidak berjalan efektif. Harga minyak goreng di pasar dilaporkan tak kunjung turun. Masyarakat resah. Selain mahal, minyak goreng dilaporkan juga sulit ditemukan di berbagai toko dan pasar. Kementerian Perdagangan menyatakan tidak mau berandai-andai apa penyebab masih sulitnya masyarakat memperoleh minyak goreng. Namun, ada dugaan salah satu penyebabnya adalah terjadinya kebocoran minyak sawit DMO (domestic market obligation) ke industri besar atau bahkan diekspor ke luar negeri. Sehingga pasokan untuk kebutuhan dalam negeri menjadi berkurang. Apakah dugaan itu benar, saat ini masih dalam proses penyelidikan. Yang jelas, efek domino kenaikan dan kelangkaan minyak goreng jika tidak segera tertangani akan merembet ke hal-hal lain yang makin membebani masyarakat. Untuk mencegah agar harga minyak goreng tidak terus melambung, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebetulnya telah menyiapkan dana subsidi sebesar Rp 7,6 triliun untuk membiayai penyediaan minyak satu harga. Tetapi, karena minyak goreng di pasaran tetap langka, tidak sedikit masyarakat yang kemudian panic buying akibat takut kehabisan stok. Secara garis besar, ada dua faktor yang menjadi penyebab harga minyak goreng tetap tinggi dan ketersediaannya cenderung masih langka di pasaran. Pertama, akibat ulah spekulan yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menahan stok minyak goreng miliknya untuk kemudian baru dijual ketika harga sedang melambung tinggi. Di berbagai media massa telah banyak dilaporkan, distribusi minyak goreng di pasar tidak berjalan lancar. Ancaman sanksi bagi distributor yang menimbun minyak goreng tampaknya tidak membuat mereka takut. Hasrat untuk mengail di air keruh demi keuntungan membuat para spekulan tidak peduli pada penderitaan masyarakat. Satgas pangan di sejumlah daerah menemukan penimbunan minyak goreng secara besar-besaran. Di Sumatera Utara, misalnya, aparat kepolisian pada pertengahan Februari menemukan penimbunan 1,1 juta kg minyak goreng di Deli Serdang. Sementara itu, Polda Sulawesi Tengah dilaporkan juga menemukan penimbunan 53 ton minyak goreng di dua gudang di Kota Palu. Kemudian, Polda Kalimantan Selatan dilaporkan juga berhasil membongkar penimbunan lebih dari 31 ribu liter minyak goreng. Kedua, kenaikan harga minyak goreng yang tak kunjung turun ada kemungkinan berkaitan dengan perilaku kartel yang memonopoli perdagangan komoditas kebutuhan masyarakat ini. Ada dugaan dari beberapa pihak bahwa perusahaan-perusahaan besar yang menguasai pangsa pasar minyak goreng dalam negeri mengatur kenaikan harga secara bersamaan. Data KPPU, misalnya, mencatat sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng. Menurut hukum ekonomi, ketika bahan baku minyak goreng harganya naik akibat produksinya menurun, memang logis kalau harga produk olahannya kemudian ikut naik. Seperti diberitakan, para pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan bahwa kenaikan harga minyak goreng disebabkan kurangnya pasokan minyak nabati dan minyak hewani di pasar global. Pada 2020 terjadi penurunan produksi minyak nabati dan hewani sebanyak 266.000 ton sehingga wajar jika harga minyak goreng naik. Namun, kenaikan harga minyak goreng sesungguhnya ironis dan tidak seharusnya terjadi mengingat pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah. Bahkan, tercatat Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar di dunia. Setelah kebijakan satu harga dicabut, saat ini toko-toko ritel dilaporkan telah kembali menjual minyak goreng. Sudah tentu dengan harga yang jauh lebih mahal dari kebijakan pemerintah sebelumnya. Dilaporkan, per liter harga minyak goreng di pasar sekitar Rp 23 ribu lebih. Memperoleh minyak goreng kini memang lebih mudah. Namun, bukan berarti tidak akan muncul masalah baru. Kita menyadari bahwa kenaikan harga minyak goreng akan bisa melahirkan â€efek dominoâ€ yang memengaruhi banyak hal. Kenaikan harga minyak goreng terbukti telah merembet dan berpengaruh pada kenaikan harga bahan dan kebutuhan pangan yang lain seperti harga daging, ayam, dan telur. Selain itu, yang tak kalah berbahaya, kisruh kenaikan harga minyak goreng juga bisa memengaruhi kesehatan masyarakat. Di lapangan, banyak kasus memperlihatkan bahwa para pedagang makanan gorengan keliling ternyata menyiasati kenaikan harga minyak goreng dengan cara tidak kunjung mengganti minyak penggorengannya. Walaupun warnanya telah berubah menjadi kehitaman, beraroma menyengat, dan membahayakan masyarakat yang mengonsumsinya. Di kalangan rumah tangga miskin, tidak sedikit ibu rumah tangga yang juga dihadapkan pada pilihan sulit. Sebagian ibu tidak jarang terpaksa memanfaatkan jelantah atau minyak bekas sisa penggorengan yang sudah tidak layak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari karena harganya yang tidak terjangkau. Melihat â€efek bola saljuâ€ kenaikan harga minyak goreng yang bisa merembet ke mana-mana, terutama dampak negatifnya bagi masyarakat, menangani kisruh minyak goreng tidak bisa lagi ditunda. Belajar dari kisruh yang terjadi selama ini, pemerintah ada baiknya tidak mengandalkan pada pendekatan yang sifatnya reaktif dan temporer. Mengembalikan harga minyak goreng pada mekanisme pasar untuk jangka pendek mungkin dapat meredam sementara waktu kelangkaan minyak goreng di pasaran. Namun, dalam banyak kasus, kebijakan tambal sulam seperti itu sesungguhnya sangat berisiko. Untuk jangka panjang, guna mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di pasaran, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah ketegasan sikap pemerintah menyikapi monopoli produksi dan pemasaran minyak goreng di pasaran. Sepanjang monopoli minyak goreng masih dikuasai segelintir pengusaha besar, sepanjang itu pula kemungkinan terjadinya kisruh minyak goreng akan tetap terjadi. (*) BAGONG SUYANTO, Dosen kemiskinan dan dekan FISIP Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: