Semarak Ramadan Tahun Ketiga Pandemi

Semarak Ramadan Tahun Ketiga Pandemi

Oleh : Biyanto, Guru besar filsafat UIN Sunan Ampel SUDAH selayaknya kita bersyukur karena dapat bertemu kembali dengan bulan suci Ramadan 1443 Hijriah. Pada tahun ini, untuk yang ketiga kalinya kita menjalankan rangkaian ibadah Ramadan di tengah pandemi Covid-19. Pada Ramadan tahun pertama pandemi, kita tampak masih sangat gagap menghadapi persebaran virus Covid-19 yang tiba-tiba menghampiri negeri tercinta. Saat itu pemerintah juga belum memiliki strategi jitu menghadapi pandemi. Dampaknya, umat harus menikmati ibadah Ramadan di rumah bersama keluarga tercinta. Kondisi lebih baik dirasakan pada Ramadan tahun kedua pandemi. Berbagai ikhtiar pemerintah dalam penanggulangan pandemi mulai menunjukkan hasil. Program vaksinasi sebagai ikhtiar pencegahan persebaran Covid-19 memperoleh sambutan antusias masyarakat. Seiring dengan kondisi pandemi yang terus melandai, umat diperbolehkan untuk beribadah Ramadan di masjid dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Memasuki Ramadan tahun ketiga pandemi, kita bersyukur kondisi semakin membaik. Bahkan, sebagian epidemiolog menyatakan bahwa kita sedang memasuki era endemi. Berdasar kondisi itulah, berbagai ormas keislaman memperbolehkan umat beribadah secara normal seperti di tahun-tahun sebelum pandemi melanda. Pengetatan peraturan berjemaah yang sebelumnya diterapkan di masjid mulai dilonggarkan. Hanya, dipesankan agar umat tetap berhati-hati. Pesan ini penting karena pandemi belum benar-benar berakhir. Harus diakui, sejauh ini kondisi pandemi telah memengaruhi kemeriahan umat dalam menyambut Ramadan. Padahal dalam kondisi normal, umat terbiasa menyambut (tarhib) Ramadan dengan berbagai acara keagamaan yang melibatkan banyak orang. Melalui ungkapan marhaban Ramadhan, kita diajak untuk menyiapkan diri dengan cara melapangkan dada dan membersihkan hati sanubari agar disinari dengan nilai-nilai kebaikan dari bulan suci Ramadan. Pada tingkat tertentu, budaya tarhib Ramadan juga diisi dengan serangkaian upacara keagamaan sesuai kearifan lokal (local wisdom) setiap daerah. Di daerah tertentu yang termasuk kategori zona aman, terutama di pedesaan, masih ramai kegiatan ziarah atau nyekar ke makam leluhur dan kerabat sebagai bagian dari budaya menjelang Ramadan. Dalam kondisi normal, budaya agama yang paling fenomenal setiap menjelang Ramadan adalah mudik ke kampung halaman. Salah satunya untuk nyekar di makam leluhur dari daerah asalnya. Hawa kampung halaman terasa begitu menyengat pada setiap menjelang Ramadan dan Lebaran. Suasana kebatinan itu terutama dirasakan mereka yang bekerja di perantauan. Menurut Andre Muller dalam Ramadhan di Jawa: Pandangan dari Luar (2002), budaya mudik dengan beragam ekspresinya merupakan fenomena keagamaan yang khas dari umat Islam Indonesia. Rasanya tidak ada budaya agama di negara lain yang semeriah negeri tercinta pada saat menjelang Ramadan dan Lebaran. Ramadan dan Lebaran tahun ini dipastikan lebih semarak. Itu karena pemerintah telah melonggarkan peraturan mudik ke kampung halaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik berasal dari kata udik berarti kampung, desa, atau dusun. Kata udik juga berarti hulu sungai, tempat semua aliran air berawal. Dari pengertian ini dipahami bahwa mudik berkaitan dengan ajaran agar seseorang kembali ke daerah asal untuk mengingat masa lalunya saat memulai kehidupan di kampung halaman. Bahkan, fenomena mudik telah menjadi budaya lintas etnis dan agama. Budaya mudik juga tidak mengenal latar belakang sosial dan ekonomi. Para pemudik berkeyakinan bahwa mudik ke kampung halaman bermakna bagi kehidupan. Selalu ada energi positif yang dirasakan jika seseorang kembali ke kampung halaman. Yang lebih mengesankan, para pemudik juga terbiasa memberikan bingkisan Lebaran kepada keluarga dan tetangga terdekat. Tradisi berbagi itu merupakan pelajaran berharga dari budaya mudik. Para pemudik telah mengamalkan ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi (religious gift). Meski Ramadan tahun ketiga pandemi lebih semarak, penting dipesankan agar umat mematuhi semua peraturan pemerintah dan imbauan ulama yang tergabung dalam berbagai ormas keagamaan. Tidak boleh ada golongan umat, apalagi tokoh agama, yang berperilaku sembrono seraya menantang takdir. Mereka umumnya berpandangan fatalistik dengan mengatakan tidak takut Covid-19. Yang ditakuti hanya Allah SWT. Sekilas pernyataan ini benar. Tetapi jika merujuk pada substansi ajaran agama, kita justru diperintahkan untuk menjaga diri (hifdzun nafs) dari bahaya. Ajaran yang sangat fundamental itu sejalan dengan larangan untuk tidak menjatuhkan diri dalam kebinasaan (QS Al Baqarah: 195). Para ahli ushul fikih juga menekankan pentingnya memahami kaidah: Dar’ul mafasid muqaddam ’ala jalbil mashalih (Menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada mewujudkan kebaikan). Karena pandemi belum benar-benar berakhir, kegiatan shalat Tarawih, tadarus, berbuka puasa, sahur, iktikaf, bahkan halalbihalal dan saling mengunjungi dalam rangkaian perayaan Idul Fitri harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Perintah yang juga sangat penting digelorakan selama Ramadan adalah memperbanyak sedekah untuk membantu mereka yang terdampak pandemi. Pada konteks inilah ajaran tolong-menolong (the theology of al-ma ’unism) penting digelorakan. Sejauh ini budaya tolong-menolong dan kesukarelaan antarsesama warga bangsa sangat mengesankan. Hal itu dapat disimak dari hasil survei lembaga Charity Aid Foundation (CAF) yang dipublikasikan pada Juni 2021. Dalam survei bertajuk World Giving Index (WGI) 2021, CAF menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Yang membanggakan, prestasi ini diraih di tengah pandemi. Itu berarti era pandemi justru menjadi penyemangat sesama anak bangsa untuk tolong-menolong (al-ta’awun). Akhirnya, semoga kondisi pandemi tahun ketiga tidak mengurangi kekhusyukan dan kesyahduan umat dalam menyambut dan mengisi Ramadan. Musim pandemi dengan segala dampak yang ditimbulkan seharusnya menjadi pelajaran bahwa sebagai hamba kita sejatinya sangat lemah jika berhadapan dengan kekuasaan Tuhan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: