Menguji Pernyataan Cak Imin Soal Tidak Berpengaruhnya Ketua NU terhadap PKB, Begini Tanggapan PBNU...
POLITIK internal nahdliyin kembali memanas. Hubungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kembali memanas dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Itu bermula ketika Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyebut sikap politik apa pun dari Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) tidak berpengaruh pada suara PKB. Saat program "Ngabuburit Bersama Tokoh" CNN Indonesia TV, Minggu (1/5), Cak Imin mengatakan "Semua lembaga survei (menyebut) pemilih PKB adalah loyal, solid sekali sampai ke bawah. Bahkan, Yahya Cholil, ketum PBNU ngomong apa aja terhadap PKB, enggak ngaruh sama sekali." Loyalitas pendukung PKB adalah fakta politik yang tidak banyak disadari orang. Di sisi lain, tidak besarnya pengaruh seorang ketua umum PBNU juga fakta politik yang tidak saja mungkin terjadi pada era kepemimpinan Gus Yahya, tetapi juga bisa dilihat dalam sejarah, setidaknya sejak Pilpres 2014 yang lalu. Pernyataan Cak Imin lebih kepada pemaparan fakta historis daripada opini belaka. Meski begitu, pernyataan Cak Imin dinilai arogan oleh Ketua PBNU Ishfah Abidal Aziz. Menurutnya, Cak Imin telah kehilangan akhlak komunikasi dan terlihat arogansi Muhaimin sebagai ketum PKB. Ishfah menambahkan bahwa PBNU berkontribusi pada kemenangan PKB, walaupun di bawah kepemimpinan Cak Imin, PKB tidak memberikan timbal balik yang sebanding bagi PBNU (CNN, 2 Mei 2022). Dua sudut pandang di atas, PKB dan PBNU, perlu dibaca dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 kemarin. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), PKB berhasil mendulang suara sebesar 13.570.097 (9,69 persen) mendapat 58 kursi dari jumlah total suara sah nasional pada pemilu anggota DPR yang sebesar 139.970.810 suara. Sementara di sisi lain yang berbeda, ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) memiliki anggota mencapai 91,2 juta per 2019. Menurut hasil Survei LSI mencatat bahwa populasi anggota NU mencapai 35,5 persen dari total 249,9 juta penduduk Indonesia. Sampai di sini sudah bisa ditimbang secara garis besar. Dengan mengasumsikan 13,5 juta suara PKB berasal dari 91,2 juta warga NU, maka di sana ada sisa suara NU sebesar 77,7 juta yang tidak diperuntukkan untuk PKB. Dengan kata lain, PKB hanya mendapatkan 15 persen (13,5 juta) dari NU. Ke mana sisa suara NU yang 85 persen (77,7 juta) itu? Pandangan Ketua PBNU Ishfah Abidal Aziz tidak dapat ditelan mentah-mentah. Walaupun di ruang publik sepintas membela citra positif kontribusi NU pada PKB, tetapi sudut pandangnya melahirkan konsekuensi logis lain yang kontraproduktif. PBNU akan dinilai hanya berkontribusi 15 persen pada PKB, dan 85 persen sisanya untuk parpol lain. Menurut hemat penulis, ada fenomena politik yang bisa dijadikan sudut pandang dalam membaca kontribusi NU pada PKB. Hal itu bisa dimulai dari Pemilu 2014 dan 2019. Pada Pilpres 2014, KH. Said Aqil Siradj sebagai ketum PBNU kala itu secara pribadi mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Baru pada Pilpres 2019, Kiai Said Aqil mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Faktanya, sekalipun Kiai Said sebagai ketum PBNU mendukung Prabowo, warga NU tetap mendukung Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Baru pada 2019, Kiai Said dan warga NU sama-sama mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Sementara di sisi lain, PKB sejak 2014-2019 konsisten mendukung Jokowi. Di sini memang ada persinggungan antara dukungan PKB pada Jokowi dan kontribusi NU pada PKB khususnya dan Jokowi umumnya. Hanya saja, Ishfah Abidal Aziz tidak sadar bahwa PBNU dan warga NU adalah dua entitas politik yang berbeda. Karenanya, walaupun Kiai Said Aqil Siradj sebagai ketum PBNU mendukung Prabowo, warga NU lebih mendukung Jokowi. Begitupun seandainya kali ini Gus Yahya mendukung pilihan lain di luar pilihan PKB maka itu tidak berarti mewakili seluruh suara warga NU. Andaikan ketum PBNU mewakili suara warga NU maka dukungan NU pada Pilpres 2014 akan mengalir ke Prabowo-Hatta Rajasa. Ini tidak terjadi sama sekali. Baru tatkala PBNU dan NU satu suara seperti saat Pilpres 2019, memilih Jokowi-Ma'ruf Amin, maka terjadilah semua suara NU mengalir pada hilir yang sama. Dalam konteks fenomena semacam ini, pernyataan politis Cak Imin bahwa sikap apapun dari Gus Yahya tidak akan memengaruhi soliditas 13,5 juta pemilih PKB. Sebab, Gus Yahya adalah representasi elite PBNU, sedangkan Cak Imin memaksudkan entitas warga NU. Sementara relasi PBNU dan warga NU merupakan dimensi lain yang tidak sederhana, bahkan bisa berseberangan satu sama lain seperti pada Pilpres 2014. Warga NU adalah entitas politik yang berdaulat, bahkan tidak bisa dikendalikan sepenuhnya oleh PBNU. Elite-elite pengurus PBNU bukan kiai-kiai kultural NU. Sekalipun elite-elite PBNU memiliki jumlah massa fanatik mereka masing-masing, namun faktanya kiai-kiai kultural NU jauh lebih besar basis massa mereka. Atau sebaliknya dengan asumsi aman dan paling minimalis, jika elite PBNU menguasai 77,7 juta suara, kiai-kiai kultural NU mampu menggalang 13,5 juta suara. Realitasnya adalah adanya Gerakan Nahdliyin Bersatu di Jawa Timur. Gerakan kultural politik ini merupakan representasi batas pengaruh elite struktural PBNU dan kedaulatan warga NU. Gerakan ini dideklarasikan di Bangkalan, Madura. Pengamat politik yang juga Direktur Surabaya Survey Center (SSC) Mochtar W Oetomo menilai keyakinan didukung kalangan Nahdliyin tersebut cukup masuk akal. Itu lantaran jaringan figur Gus Muhaimin serta PKB yang selama ini dikenal memiliki irisan kuat dengan kalangan Nahdliyin. Di kalangan kiai muda yang populer adalah Gus Kautsar Kediri. Akhir kata, menurut penulis, pernyataan kontroversial Cak Imin dalam membaca manuver politik Gus Yahya bukan sebuah arogansi dalam komunikasi, melainkan pemetaan yang akurat tentang besaran suara PKB yang solid dari atas hingga bawah. Hal itu mungkin terjadi karena jumlah warga NU yang mendukung PKB hanya 15 persen dari total warga NU yang 91,2 juta atau 35,5 persen dari populasi Indonesia. Wallahu a'lam bis shawab. (disway.id/red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: