Bawang Yawuyoko

Bawang Yawuyoko

--

Pemuda Disway itu juga sering didatangi tetangga. Untuk dimintai tolong mencangkul di tanah tetangga. Ia juga selalu menyediakan diri untuk itu.
Tidak ada upah yang harus dibayarkan. Cukup diberi minum dan makan siang. Minumnya pun cukup air putih. Diambil dari sungai terdekat. Tidak perlu direbus.
Untuk makan siang mereka disediakan ubi. Bukan ubi jalar atau singkong. Ubi Jayawijaya. Orang di Jakarta menyebutnya talas.

Di Wamena disebut hepuru atau hepiri.

Talas Wamena enaknya luar biasa. Saya suka kangen talas Jayawijaya.

Kerja tanpa upah di tanah tetangga sebelah seperti itu sudah berlangsung turun-temurun. Tidak ada perasaan apa pun di antara mereka kecuali hidup harus saling membantu. Gotong royong yang asli justru masih hidup di Wamena. Di sana tidak disebut gotong royong. Mereka menyebutnya yawuyoko.
"Sampai kapan yawuyoko akan bertahan? Sampai traktor masuk Wamena?" tanya saya. Saya membayangkan kalau suatu saat traktor masuk ke lahan perladanganJayawijaya polusi pun merambat ke sana. Juga suara bising. Pegunungan sejuk nan damai itu pun terusik.
"Rasanya yawuyoko akan langgeng. Sampai orang Papua hilang" katanya.

Pemuda Disway itu dulu hanya menanam ubi atau kol. Ia baru mulai menanam bawang dua tahun lalu, 2020. "Saya mendapat pengetahuan dari orang Jatim. Pak Sumadi. Guru SD," ujarnya.

Daun bawang itu sudah bisa dipanen di umur 3 minggu. "Kabarnya untuk dikirim ke Timika. Untuk masakan karyawan di Freeport," ujar pemuda Diswayitu.

Kini banyak petani sekitarnya ikut menanam bawang. Selebihnya masih menanam hepuru. Atau kol. Atau selada. Bayam. Dan hortikultura lainnya.
Sejak pulang ke Wamena ia sudah enam kali panen daun bawang. "Mohon doa restu kami lagi bangun rumah di kota Wamena," ujarnya. Ia sudah membeli tanah 22 x 22 meter di kota. Bangun rumah dari bata.

"Dari hasil pertanian?" tanya saya.

"Iya....," katanya lirih, lantas tersenyum menunduk.

"Sampai kapan tanam bawang?"

"Sampai tidak laku lagi," katanya. Habis menanam bawang ini ia akan menanam bawang lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Di sekeliling bawang itu ia tetap menanam hepuru. Itu bahan makanan pokok di sana. Tidak boleh tidak punya hepuru. "Kalau persediaan beras di rumah akan habis kita tidak punya rasa waswas. Tapi kalau hepuru akan habis kita cemas," katanya.

Ia dan umumnya orang Wamena, lebih memilih makan hepuru daripada nasi. Nasi hanya dimakan sesekali. Siang hari. Pagi dan malam lebih enak makan hepuru. Terutama makan malam. Tanpa lauk apa pun.

Bagaimana bisa; habis tanam bawang tanam bawang lagi? Sampai enam kali berturut-turut? Dan masih akan bawang lagi? Tidakkah hasilnya kian menurun?

"Hasilnya tetap sama. Tidak ada penurunan," katanya.
"Diberi pupuk apa?" tanya saya.

"Tidak diberi pupuk apa-apa," katanya. "Tidak ada yang jual pupuk di Wamena," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: