Pakar Hukum Sebut utusan PN Jakpus Tunda Pemilu Potensial Ciptakan Kekacauan

Pakar Hukum Sebut utusan PN Jakpus Tunda Pemilu Potensial Ciptakan Kekacauan

Fachri Bachdim Pakar Hukum Tatanegara--

BACA JUGA:Sidang Kasus Penyerobotan Tanah di Jatibening Libatkan ASN, Dimulai

Ketentuan ayat (2) mengatur : Sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.

“Dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, yang tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus, sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai "never existed" oleh karena hakim mengokupasi kewenagan kekuasaan lembaga peradilan lain,” tambahnya.

Fahri Bachmid menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekwensinya sangat serius, yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya, sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional.

BACA JUGA:Tumpahan Aspal Mentah Cemari Perairan Nias

Misalnya, presiden RI akan berahir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate.

“Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilanksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” paparnya.

Fahri berpendapat, Idealnya putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa Perdata oleh pengadilan negeri tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan, sebab sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter "contentiosa".

BACA JUGA:Banjir Kepung Kota Bekasi Komplek Perkantoran Parpol Ikut Terendam

Artinya, menurut Fahri Bachmid, putusan PMH itu tidak bersifat "ergo omnes" yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenagan publik.

“Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik,” tutup Fahri Bachmid.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: