Kenapa Tuyul Tidak Curi Uang di Bank? Begini Penjelasannya...

Kenapa Tuyul Tidak Curi Uang di Bank? Begini Penjelasannya...

ilustrasi gambar--

KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID - Tuyul dalam mitologi pulau Jawa dan sekitarnya, adalah makhluk halus berwujud orang kerdil atau anak kecil dengan kepala gundul, yang dipercaya dapat mencuri uang untuk tuannya.

Mitos mengenai setan gundul pencuri uang sudah ada sejak tahun 1890-an, namun istilah tuyul baru muncul sekitar tahun 1929 setelah krisis ekonomi Depresi Besar.

Menurut Budayawan Suwardi Endraswara dalam Dunia Hantu Orang Jawa (2004) menuliskan kegiatan tuyul dilakukan dari rumah ke rumah dan pekerjaannya tak hanya sebatas mencuri uang, tetapi juga barang dan surat-surat berharga. Biasanya, ini dilakukan oleh seseorang yang tergila-gila akan kekayaan.

Namun, pernahkah Anda terpikir kenapa tuyul hanya melakukan pencurian dari rumah ke rumah. Apakah bisa tuyul melakukan pencurian ke bank yang menyimpan banyak sekali uang? Atau minimal melakukan pencurian atas saldo e-money?

BACA JUGA:Kedapatan Bawa Badik dan Sabu, Dua Remaja Asal Tuba Diamankan Polisi

Sejauh ini memang belum ada kasus bank kehilangan uang akibat pencurian oleh makhluk halus bertubuh anak kecil tersebut. Di internet berseliweran informasi soal jawaban dari pertanyaan ini. 

Ada yang menyebut tuyul takut terhadap logam karena uang di bank tersimpan di brankas. Ada juga yang menyebut di bank terdapat "penjaga" berupa makhluk halus lain yang ditakuti tuyul.

Jawaban-jawaban tersebut hanya sebatas dugaan dari suatu hal yang memang tak logis. Namun, terlepas dari apa jawaban dari pertanyaan tersebut, satu hal pasti terdapat alasan sains di balik cerita mistis tuyul. Alasan inilah yang dapat mematahkan keberadaan tuyul dan juga alasan kenapa tuyul tak mencuri uang ke bank atau mengambil saldo e-money seseorang.

Untuk memahami penjelasannya, kita harus memundurkan waktu ke tahun 1870. Kala itu, Belanda meresmikan kebijakan pintu terbuka atau liberalisasi ekonomi menggantikan sistem tanam paksa. Sekilas perubahan ini membawa angin segar karena dinilai mampu menyejahterakan masyarakat. Namun, kenyataannya tidak.

BACA JUGA:Netralitas ASN dan Kepala Desa di Kabupaten Bekasi Diragukan pada Pemilu 2024 Berpotensi Besar Tidak Netral

Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), liberalisasi ekonomi justru melahirkan rezim kolonial baru yang di dalamnya terjadi pengambilalihan perkebunan rakyat untuk diubah menjadi perkebunan besar dan pabrik gula. 

Situasi ini kemudian membuat kehidupan masyarakat terpuruk, khususnya para petani kecil di Jawa yang semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Sebab, mereka tak lagi memiliki kuasa atas lahan perkebunan.

Pada sisi lain ada juga masyarakat yang sejahtera dari sistem ini. Mereka adalah pedagang, baik dari kalangan pribumi atau Tionghoa, yang dalam sekejap menjadi orang kaya baru.

Kenaikan pesat kekayaan mereka lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang kian melarat itu. Para petani bingung darimana asal-usul kekayaan mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: