KKN di Persimpangan Jalan: Menemukan Kembali Jalan Pulang
Melalui pendekatan yang lebih terstruktur dan fokus pada pembelajaran dua arah, KKN memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan mahasiswa. --
KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID - "Datanglah kepada Rakyat, hiduplah bersama mereka, mulailah dengan apa yang mereka tahu, bangunlah dari apa yang mereka punya, tetapi pelajar yang baik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, Rakyat berkata, 'Kami sendirilah yang mengerjakannya.'" - Lao Tse.
Kata-kata bijak dari Lao Tse ini seakan menjadi cermin bagi perjalanan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Indonesia. Program yang sejak pertama kali diinisiasi oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin pada tahun 1970-an, bertujuan mengintegrasikan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, perjalanan waktu menunjukkan bahwa program mulia ini kini menghadapi berbagai tantangan yang mengancam esensinya.
Pada akhir semester genap, sebagian besar mahasiswa menanti momen untuk pulang kampung dan berlibur selama hampir tiga bulan. Namun, bagi sebagian lainnya, libur panjang ini justru menjadi "ujian" tambahan setelah Ujian Akhir Semester (UAS). Ujian tersebut adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sebuah ritual akademis yang memaksa mereka untuk kembali merenungkan tujuan dari pengabdian yang sesungguhnya. KKN, yang dulunya dianggap sebagai jalan mulia untuk berbagi ilmu dan pengalaman, kini menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa.
Selama empat hari di wilayah utara Karawang, saya melakukan mini riset di enam posko KKN yang mencakup Kecamatan Kutawaluya, Cibuaya, Batujaya, dan Banyusari. Diskusi dan wawancara dengan mahasiswa serta masyarakat setempat membuka mata saya pada kenyataan yang mengejutkan. Banyak mahasiswa yang tidak tahu apa yang harus dilakukan karena ketiadaan data demografi. Sebagian besar dari mereka menjawab, "Saya belum mendapat data," atau lebih menyedihkan lagi, "Apa itu demografi?" Situasi ini menunjukkan kurangnya persiapan yang mengakibatkan program kerja yang mereka jalankan menjadi tidak relevan dan kurang bermanfaat. Hal ini diperparah dengan ketidakhadiran dosen pendamping lapangan yang seharusnya membimbing mereka.
Di tengah keriuhan dan kesibukan mahasiswa yang mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, ironisnya, biaya pendaftaran KKN yang hampir mencapai sejutaan rupiah tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan. Mahasiswa masih harus mengeluarkan biaya tambahan untuk kontrak rumah posko selama sebulan, biaya makan, serta biaya untuk menjalankan program kerja. Lebih mengecewakan lagi, penempatan lokasi KKN sering kali berada di wilayah yang sudah cukup maju. Ini membuat KKN kehilangan rohnya sebagai program pengabdian kepada masyarakat yang membutuhkan.
Perguruan tinggi tampaknya lebih mementingkan aspek administratif dan formalitas daripada esensi dari KKN itu sendiri. Apakah mahasiswa benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi tantangan di lapangan? Atau apakah KKN hanya dianggap sebagai formalitas belaka, tanpa adanya keseriusan dalam mempersiapkan mahasiswa untuk benar-benar memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat? Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap cara perguruan tinggi merancang dan melaksanakan program ini.
Paradigma KKN saat ini tampaknya tidak lagi berakar pada permasalahan nyata di akar rumput. Masyarakat sering kali didikte untuk mengikuti ide-ide dan gagasan yang dibawa oleh perguruan tinggi, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi lokal. Mahasiswa datang dengan stigma bahwa masyarakat harus "dibantu," padahal masyarakat desa sering kali sudah mandiri dan inovatif. Desa seharusnya menjadi tempat belajar bagi mahasiswa, bukan sebaliknya. Program kerja yang dijalankan haruslah hasil dari diskusi dan pengamatan yang mendalam bersama masyarakat. Ada kesenjangan antara apa yang diajarkan di kampus dan realitas di lapangan. Mengapa tidak menjadikan masyarakat sebagai guru yang memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan nyata?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: