Kekerasan fisik dan pem-bully-an masih terus terjadi di satuan pendidikan yang dilakukan oleh pendidik dikarenakan dalih mendisiplinkan.
BACA JUGA:40 Persen ASN di Kemenag Tak Profesional, Lebih Kali Pak!
Jika merujuk pada kasus-kasus perundungan yang terjadi sepanjang 2022, alasan mengapa guru mendisiplinkan dengan kekerasan yaitu peserta didik ribut saat di kelas, siswa tidak mengembalikan buku cetak yang dipinjamkan sekolah, siswa tidak bisa menjawab pertanyaan guru, dan siswa tidak ikut pembelajaran.
“Namun pelaku perundungan di satuan pendidikan selama tahun 2022 lebih didominasi peserta didik terhadap peserta didik lainnya,” pungkas Retno.
Kasus Intoleransi
Menurut pemantauan FSGI, kondisi saat ini literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik.
Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan dan pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain.
FSGI mencatat bahwa sejak 2014 sampai dengan 2022 tercatat sejumlah kasus intoleransi yang terjadi di satuan pendidikan, seperti pelarangan peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala sebanyak 6 kasus (2014-2022); pemaksaan (mewajibkan) peserta didik menggunakan jilbab/kerudung sejumlah 17 kasus (2017-2022); diskriminasi kesempatan peserta didik dari agama minoritas untuk menjadi Ketua OSIS ada 3 kasus (2020-2022); dan kewajiban sholat dhuha sehingga sejumlah peserta didik perempuan harus membuka celana dalamnya untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan benar sedang haid/menstruasi sejumlah 2 kasus (2022).
Kasus-kasus tersebut terjadi di Rokan Hulu (Riau), Banyuwangi (Jawa Timur), Sragen (Jawa Tengah), Bantul dan Gunung Kidul (D.I. Yogjakarta), Kota Padang (Sumatera Barat), Kota Tangsel (Banten), Kota Depok, Kabupaten Bogordan Kab. Bandung (Jawa Barat), Denpasar dan Singaraja (Bali), Maumere (NTT), Manokwari (Papua), dan DKI Jakarta.
Sekolah negeri merupakan lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh negara dan dioperasikan menggunakan anggaran negara secara langsung maupun tidak, baik melalui APBD maupun APBN yang dihimpun dari pembayaran pajak yang disetorkan oleh seluruh warga negara yang beragam.
“Umumnya sekolah-sekolah negeri siswanya pasti beragam agama, suku dan status sosial, oleh karena itu kebijakan sekolah negeri juga harus menghargai keberagaman, tidak menyeragamkan,” tegas Heru Purnomo yang juga Kepala SMPN di Jakarta.
BACA JUGA:Diduga Renovasi Rumah Kader PDIP Pakai Dana Baznas, Orang Demokrat Sebut Kek Maling Ketahuan
Heru menambahkan, seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah negeri yang memaksakan siswinya memakai jilbab. Sebab hal itu bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia yang mesti dijunjung, dirawat dan dikokohkan.
“Apalagi pendidikan secara prinsip harus berorientasi pada kepentingan siswa, nonkekerasan dari simbolik, verbal hingga tindak kekerasan lainnya,” demikian Heru.