Puncaknya, pada 8 Januari 2025, peradilan yang dipimpin Hakim Ketua Nelly Andriani, Hakim Anggota Dedi Irawan dan Hendra Kusuma Wardana serta panitera Octa Andrianto memutuskan mengabulkan gugatan penggugat. Bahkan, putusan menyatakan Wahyudi dan tergugat lainnya bersalah melakukan perbuatan melawan hukum.
Menurut Wahyudi, perubahan tersebut melanggar Pasal 26 Perma No. 7 Tahun 2022 yang menegaskan bahwa amar putusan yang diunggah melalui e-Court memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan fisik.
"Bagaimana mungkin putusan final bisa berubah hanya karena alasan administratif? Ini sangat merugikan kami," keluh Wahyudi, Jumat (10/1/2025).
Wahyudi juga menyatakan bahwa PT. Bumi Artha Sedayu tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah yang disengketakan. Tanah seluas 3.567 meter persegi di Desa Gintung Kerta, yang kini difungsikan sebagai danau resapan dalam perum Kartika Residence, telah dibelinya secara sah dari pemilik tanah.
Tidak tinggal diam, Wahyudi bersama tergugat lainnya melaporkan perubahan putusan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Mereka menuntut pertanggungjawaban penuh dan kejelasan atas dasar hukum putusan terbaru tersebut.
"Kami tidak ingin hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Ketidakpastian hukum ini harus dihentikan," tegasnya.