"Ketika tidak ada permohonan pengukuran, maka eksekusi dilakukan tanpa memastikan kesesuaian antara data sertifikat dan kondisi fisik tanah. Ini yang menjadi masalah utama," jelasnya.
Darman juga menyoroti perbedaan kasus antara 705 dan 706. "706 berbatasan langsung dengan masyarakat, sementara 705 memang menjadi bagian dari perumahan yang dibangun di atasnya. Jadi, ini dua kasus yang berbeda," katanya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa dalam perkara hukum yang berjalan sejak 1996 hingga 1999, BPN tidak pernah menjadi pihak tergugat. "Dari lima tergugat yang ada, BPN tidak termasuk di dalamnya. Padahal, jika sejak awal dilibatkan, data pertanahan bisa lebih jelas," tambahnya.
Kini, dengan adanya eksekusi yang dilakukan tanpa pengukuran ulang, permasalahan semakin rumit. "Kalau yang dieksekusi adalah bagian dari 705, maka tentu akan berdampak pada warga klaster yang sudah tinggal di sana. Oleh karena itu, perlu ada kejelasan apakah tanah yang dieksekusi benar-benar berada di dalam 706 atau tidak," tandas Darman.
Sementara itu, lima warga korban penggusuran di Setiamekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, termasuk Hajah Asmawati (69) dan Mursiti (60), menyuarakan ketidakadilan setelah rumah mereka diratakan. Mereka mempertanyakan alasan penggusuran tersebut dan menyatakan akan menempuh jalur hukum untuk menuntut hak mereka.
"Kami menerima cobaan ini. Sudah terjadi, kami hanya bisa berdoa kepada Allah. Tapi kami juga akan terus menuntut keadilan," ujar Asmawati.
Menurutnya, penggusuran ini tidak beralasan karena ia memiliki sertifikat tanah yang sah. "Saya punya sertifikat asli, tapi tetap tidak dihiraukan. Tanah ini saya beli, suami saya yang urus, dan katanya aman tanpa sengketa. Tapi sekarang rumah saya digusur," katanya.
Sebagai bentuk bantuan, pemerintah melalui kementerian terkait memberikan Rp 25 juta per orang bagi warga terdampak. Namun, bagi para korban, jumlah ini dinilai tidak cukup untuk membangun kembali kehidupan mereka.
Senada diungkapkan, Mursiti, yang saat ini mengontrak rumah dekat lokasi penggusuran, merasa sedikit lega dengan adanya bantuan tersebut.
"Alhamdulillah, setidaknya ada bantuan. Saya bisa bayar kontrakan dan modal usaha kecil-kecilan. Tapi tetap saja, kami kehilangan rumah," katanya.
Beberapa warga, termasuk Mursiti dan Asmawati, masih berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang lebih adil, termasuk pengembalian hak atas tanah mereka.
"Saya serahkan semuanya kepada pemerintah, tapi saya tetap ingin keadilan. Ini rumah saya, hak saya," tegas Asmawati.
Ihwal, warga berharap ada kejelasan mengenai status tanah mereka, terutama bagi mereka yang memiliki dokumen sah. "Kami hanya ingin keadilan dan tempat tinggal kami kembali," pungkasnya. (Iky)