KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID – Konflik pertanahan kembali mencuat di Kabupaten Bekasi usai Pengadilan Negeri (PN) Cikarang diduga salah mengeksekusi lahan tanah di Setiamekar, Tambun Selatan terkait lahan yang masuk dalam sertifikat nomor 705 dan 706.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang mengunjungi Desa Setiamekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi menemukan fakta baru sesampainya di lokasi setelah menemui warga yang tempat kediaman usahanya digusur.
Warga yang propertinya telah digusur PN Cikarang adalah Asnawati (69) pemilik warteg, Yaldi pemilik bengkel mobil (56), Siti Mulhijah (44) pemilik rumah, dan Mursiti (60) pemilik Alfamart, dan masih ada beberapa warga yang belum datang. Mereka membeli sertifikat hak miliki (SHM) nomor 706 dari Kayat.
Nusron kemudian mengecek SHM warga dan pergi menuju lokasi ruko tempat usaha warga yang jaraknya 500 meter dari perumahan Cluster Setia Mekar Residence yang berlokasi di Kampung Bulu, Jalan Bekasi Timur Permai, RT 1/RW 11, Desa Setia Mekar. Di depan lokasi lahan yang sudah digusur tersebut, Nusron menyatakan lahan warga tidak termasuk yang dieksekusi.
"Ini sertipikat bapak-bapak 5 orang ini di eksekusi ini di mata BPN sah masih sah meskipun sudah ada keputusan MA, kenapa sah? karena dalam keputusan MA tersebut pengadian dan MA tersebut tidak ada perintah kepada BPN untuk membatalkan sertipikat ini," kata Nusron.
Menurut Nusron, kesalahan penggusuran tersebut karena pengadilan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi dalam pelaksanaan eksekusi putusan.
"Harusnya Mimi Jamilah langkah pertama datang ke pengadilan kami minta pentepan pengadilan memerintahkan BPN membatalkan sertipikat itu. Kemudian sertipikatnya dibatalkan harusnya pengadilan eksekusi menurut aturan sebelum eksekusi harus minta di ukur dulu dimana lokasi yang disengketakan," katanya.
"Apakah lokasi ini bagian dari yang disengketakan apa tidak, kemudian setelag itu sudah diukur mau di eksekusi kirim surat kepada BPN pemberitahuan minimal biar kita tau," sambungnya
Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi, Darman Simanjuntak, menegaskan bahwa pengukuran tanah merupakan langkah krusial sebelum eksekusi dilakukan.
Menurut Darman, tanah yang awalnya tercatat dalam sertifikat N325 tahun 1995 mengalami pemecahan menjadi beberapa bagian, yakni 704, 705, 706, dan 707.
Namun, setelah dilakukan pemecahan, luas tanah secara keseluruhan berkurang dari 3,6 hektar. Hal ini diduga akibat adanya penguasaan oleh pihak lain saat pengukuran awal dilakukan oleh petugas BPN.
"Kita melihat bahwa 704 dan 706 sudah tidak sama lagi dengan data awal karena adanya penguasaan penduduk di sekitar lokasi. Sementara itu, 705 adalah klaster yang dibeli oleh Pak Bari dari Tunggul Parulian," ungkap Darman.
Lebih lanjut, Darman menjelaskan bahwa sebelum 705 dijual, sempat terjadi perdamaian yang dituangkan dalam akta pada tahun 2002. Dari akta tersebut, sita jaminan yang sebelumnya melekat pada sertifikat 705 diangkat pada 7 April 2002. Dengan pengangkatan sita jaminan ini, tanah tersebut pun bisa diperjualbelikan hingga akhirnya menjadi bagian dari pemukiman.
Namun, persoalan muncul ketika eksekusi dilakukan tanpa adanya pengukuran ulang sesuai Pasal 93 Ayat 2 PP 18 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa panitera wajib mengajukan permohonan pengukuran sebelum eksekusi dilakukan.