Polres Metro Jakarta Barat Periksa Staf Krematorium di Rumah Duka Mulia Karawang

Polres Metro Jakarta Barat Periksa Staf Krematorium di Rumah Duka Mulia Karawang

Area parkir Rumah Duka Mulia di Karawang   JAKARTA- Aparat dari Polres Metro Jakarta Barat menyambangi Yayasan Kematian dan Rumah Duka Mulia Karawang, untuk meminta keterangan terkait kasus kartel kremasi. "Ada tiga orang yang diperiksa, tapi yang dua saksi lain, orang Karawang juga, tapi bukan staf dari Yayasan Mulia," kata Kanit Krimum Polres Jakarta Barat AKP Avrilendy, Jumat (23/7/2021). Sebelumnya, pemilik Rumah Duka Abadi, Grogol Petamburan, Jakarta Barat dan Martin, warga yang pertama kali menyebarkan pesan berantai terkait kasus ini, juga telah dimintai keterangan oleh polisi. Avrilendy menjelaskan, pihaknya kini masih mendalami kasus ini. "Sejauh ini kami masih melakukan pendalaman terkait indikasi pidana dan belum ambil kesimpulan," ungkapnya. Sebelumnya, sebuah pesan berantai berjudul 'Diperas Kartel Kremasi' viral di media sosial. Korban bernama Martin mengungkapkan lonjakan harga kremasi yang harus dikeluarkan di masa pandemi Covid-19 bisa mencapai Rp 80 juta. Dalam pesan tersebut, Martin, warga Jakarta Barat, mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia pada 12 Juli 2021. Petugas yang mengaku dari Dinas Pemakaman DKI Jakarta membantu mencarikan kremotrium untuk ibunya. "Kemudian kita dihampiri orang yang mengaku Dinas Pemakaman menyampaikan bahwa paket kremasi Rp 48,8 juta, jenazah bisa segera dikremasi di Karawang, dan harus cepat karena RS lain juga ada yang mau ambil slot ini," tulis orang bernama Martin dalam pesan tersebut. Martin mengaku terkejut dengan biaya yang disebutkan petugas. Pasalnya, enam minggu sebelumnya, kakak Martin meninggal dunia dan dikremasi dengan biaya tak sampai Rp 10 juta. Dua minggu setelahnya, besan dari kakak Martin dan anak perempuannya juga meninggal dunia akibat Covid-19. Saat itu biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 24 juta per orang. "Bagaimana harga bisa meroket begini tinggi dalam waktu singkat?" kata Martin. Martin mencoba menghubungi beberapa krematorium di wilayah Jabodetabek.  Namun, sebagian besar tidak mengangkat telepon darinya. Sementara itu, sebagian yang mengangkat telepon mengatakan krematorium sudah penuh. Martin mencoba menghubungi pihak yang dulu mengurus kremasi kakaknya. Namun, pihak tersebut mengatakan biaya telah melonjak seperti yang dikatakan petugas yang mengaku dari Dinas Pemakaman. "Kemudian dia juga tawarkan Rp 45 juta, jenazah juga bisa segera dikremasi tapi besok di Cirebon. Dari teman kami juga mendapat beberapa kontak yang biasa mengurus kremasi. Ternyata slot bisa dicarikan tapi ada harganya, bervariasi dari Rp 45 juta sampai Rp 55 juta," tutur Martin. Sementara, pihak rumah sakit mendesak Martin dan keluarga untuk segera memindahkan jenazah. Lantaran terdesak, keluarga memilih untuk melakukan kremasi di Karawang, yakni krematorium yang ditawarkan oleh petugas yang mengaku dari Dinas Pemakaman. Sayangnya, petugas mengatakan bahwa slot kremasi di Karawang sudah diambil orang lain. Namun, petugas mengatakan bahwa kawannya akan mencarikan tempat lain. Tak lama, petugas tersebut mengabarkan bahwa ia mendapat slot kremasi untuk lima hari ke depan di krematorium pinggir kota dengan biaya Rp 65 juta. "Segera kami mengerti bahwa kartel telah menguasai jasa mengkremasi sanak family korban C-19 dengan tarif 45 sd 65 juta," kata Martin. Martin sekeluarga memutuskan untuk mengkremasi jenazah kakaknya di Cirebon. Keesokan harinya, Martin sekeluarga tiba di Cirebon sekitar pukul 09.30 WIB. Sementara itu, mobil jenazah ibu Martin sudah sampai pada pukul 07.00 WIB. Martin sekeluarga kemudian mengecek isi peti jenazah yang dibawa mobil tersebut. "Ternyata di dalam mobil jenazah tersebut ada peti jenazah lain, rupanya satu mobil sekaligus angkut dua jenazah," kata Martin. Sambil menunggu giliran kremasi, Martin berbincang dengan pengurus kremasi. Pihak pengurus kremasi mengatakan bahwa hanya ada satu harga kremasi, yakni Rp 2,5 juta. Namun,biaya tambahan memang dikenakan ketika harus melakukan prosedur Covid-19. Pasalnya, harus ada pengadaan alat pelindung diri (APD), penyemprotan dan lain-lain. Tetapi, biaya tambahan hanya beberapa ratus ribu rupiah saja. (kps/red)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: