Alih Fungsi Lahan Tantangan Reforma Agraria Sebagai Petunjuk Jalan: Tanggapan Untuk Muhammad Gunawan
Kabupaten Karawang-KBE-karawangbekasi.disway.id
Sedangkan bagi buruh tani berdasar riset UBP di Desa Belendung pendapatan buruh tani sekitar 270.000/bulan atau 9.000/hari, sementara kita ketahui bahwa jumlah buruh tani dalam satu desa rata-rata diatas 1000 orang. Jadi, bila memperhatikan statistik tersebut kemiskinan ekstrim di desa bukan kesalahan statistik BPS sebagaimana sanggahan Cellica dan Acep Jamhuri ketika wakil presiden Ma’ruf Amin menyatakan terdapat desa-desa di Karawang yang masuk dalam ketegori miskin ekstrim.
Akan tetapi kemiskinan ekstrim di Karawang merupakan relaitas objektif yang masih berlangsung sampai saat ini. Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi maka nilai lahan/sawah sebagai investasi rata-rata sebesar 500 juta - 2 miliar dengan pendapatan Rp. 3.500.000 per bulan maka usaha tani sangatlah tidak rasional. Karenanya tak heran jika petani yang sawahnya terkena plot pembangunan ia akan dengan senang hati menjual sawahnya kepada developer sejalan dengan doktrin land market selalu menyediakan opportunity untuk banting stir ke sektor usaha lain pada konteks bussines as ussual yang secara revenue jauh lebih rasional.
BACA JUGA:Pemkab Bekasi Gandeng KPBU Bangun PJU, Pj Bupati: APJ Menjadi Kebutuhan Dasar Masyarakat
BACA JUGA:Nonton Gimai Seikatsu (Days with My Stepsister) Episode 11 Sub Indo
Dengan demikian, tanpa inovasi yang menunjang peningkatan kapasitas tenaga produktif, LP2B kebijakan peninggalan pemerintahan Cellica, hanya sebagai instrumen untuk mendaur ulang kemiskinan desa.
Kita ketahui bersama bahwa keterlibatan swasta dalam pembangunan sektor perumahan menandakan demikian vitalnya perumahan murah (bersubsidi) bagi rakyat ditengah ketidakberdayaan sistem finansial negara. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memberikan landasan fungsional bagi swasta dalam menyelenggarakan pembangunan perumahan rakyat.
Dalam petunjuk teknis pelaksanaan pembangunan perumahan rakyat oleh swasta, regulasi telah memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten (bupati) untuk menerbitkan ijin alih fungsi lahan dan pembangunan perumahan yang sesuai dengan pedoman spatial plan dan LP2B. Tuduhan Muhammad Gunawan kepada Maslani sebagai pelaku tunggal alih fungsi lahan pertanian itu jelas keliru.
Sebab swasta tidak mungkin menjalankan usaha pembangunan perumahan rakyat tanpa dua alasan: (i) lemahnya jaring pengaman produksi pertanian dari pemerintah yang menyediakan jaminan kesejahteraan petani sebagai produser pangan, dan (ii) ijin alih fungsi dan Pembangunan dari bupati. Sementara kita tahu yang mulia para mantan bupati yang dulu memberi ijin alih fungsi lahan untuk pembangunan perumahan rakyat kini bercokol di kubu Acep-Gina.
BACA JUGA:Elektabilitas Dedi-Erwan Melejit Jauh di Pilgub Jabar, Syaikhu-Ilham Habibie Kedua
2. Reforma agraria dan redistribusi lahan
Dalam pengertian sederhana reforma agraria adalah penataan ulang struktur penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan lahan agar tidak ada penghisapan nilai. Reforma agraria sebagai elaborasi dari landreform tak seharusnya mengerdilkan makna revolusionernya sekedar istilah yang dikodifikasi.
Pengubahan atau perombakan tata kuasa (pemilikan dan atau penguasaan) tanah secara masif dengan implikasi pada perubahan pengerahan tenaga kerja juga relasi-relasi produksi di atasnya itulah yang dikenal dengan sebagai landreform.
Ia pun tak boleh sekedar menjadi program strategis pemerintah yang secara sosiologis hendak menjawab problem-problem mendasar yang terkandung didalmnya seperti gejala kemiskinan, pengangguran, landless dan tunakisma tapi sekaligus meletakkannya dalam konteks transisi agraria dan transformasi masyarakat menuju tatanan sosial yang sama sekali baru yang ditandai dengan perubahan corak produksi dan sosio-kemasyarakatan.
Secara praksis konfigurasi landreform mesti terdiri dari susunan program-program yang berkemampuan melenyapkan feodalisme seperti larangan praktik penyakapan, nyeblok/ngepak, tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dsb); pelarangan penguasaan lahan secara absentee (guntai); larangan penguasaan tanah skala luas dan tentunya redistribusi. Redistribusi lahan harus diarahkan pada dua sisi. Pertama, redistribusi kepada subjek LR yang berasal dari hasil pengambilalihan lahan-lahan yang oleh pemiliknya diusahakan secara menghisap/feodalistik. Kedua redistribusi yang bersumber dari lahan-lahan produksi berskala luas seperti klaim kawasan hutan yang dikuasai oleh perhutani.
BACA JUGA:Tolak Swastanisasi Pasar, Para Pedagang Pasar Baru Karawang Deklarasi Dukung Aep-Maslani
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: