Alih Fungsi Lahan Tantangan Reforma Agraria Sebagai Petunjuk Jalan: Tanggapan Untuk Muhammad Gunawan
Kabupaten Karawang-KBE-karawangbekasi.disway.id
Oleh: Endang Ayat, Ketua Umum Relawan Rajamas
KARAWANGBEKASI.DISWAY.ID - Pada tanggal 8 september 2024, Muhammad Gunawan dalam artikel Kompasiana memberikan kritik terhadap program Pro Petani pasangan calon Aep Saepullah-Maslani. Ia menyoroti seputar alih fungsi lahan dan Reforma Agraria.
Dalam tulisannya Muhammad Gunawan tidak mengurai teori pada satu lanskap yang merentang mulai dari seluk-beluk kemiskinan, reforma agraria sebagai fitur kunci dari keberhasilan tata kelola produksi pertanian, kedaulatan pangan hingga kesejahteraan kaum petani.
Baiklah, pada kesempatan ini penulis akan menyodorkan pendapat mengenai Muhammad Gunawan sebagai penulis serta tulisannya yang menyajikan ilustrasi struktural atas kondisi aktual berikut dinamika tata kelola pertanian yang berkait kelindan dengan kebijakan publik. Isu alih fungsi lahan dan reforma agraria sangat menarik bila diangkat menjadi tema-tema konkret untuk didiskusikan dan diperdebatkan di ruang-ruang publik.
Sebagai penulis, Muhammad Gunawan tidak mencerminkan seorang intelektual yang profesional. Hal ini bisa kita cermatii dari tulisan artikelnya yang tidak disandarkan pada kaidah-kaidah penulisan yang ilmiah serta isinya demikian subjektif dan tendensius untuk pasangan calon Acep-Gina. Mari kita simak kedangkalan berpikir Muhammad Gunawan yang tertuang dalam tulisannya:
BACA JUGA:Ahli Waris Guru TK Dapat Santunan JKM Rp 42Juta
BACA JUGA:Yeosin Gangnim Episode 6 Sub Indo: Tempat Streaming & Sinopsis
1. Alih fungsi lahan pertanian menjadi daerah terbangun
Muhammad Gunawan tidak mengajukan pandangan teoritisnya mengenai perkembangan masyarakat dimana pada fase transisi agraria seperti saat ini ditandai dengan komodifikasi lahan yang perlahan mengubah corak dan relasi-relasi produksi untuk kemudian mendorong munculnya apa yang disebut dengan akumulasi primitif. Kondisi ini berdampak pada penciptaan proletarianisasi pedesaan serta merosotnya nilai guna tanah sehingga memiliki kecenderungan dominan terhadap nilai tukar di pasar tanah. Pergeseran nilai tanah dari sebelumnya sebagai sarana sosial produksi dengan corak tertentu ke posisi tanah sebagai komoditas/proferti untuk memeroleh nilai baru adalah basis argumentasi struktural atas praktik alih fungsi lahan untuk pembangunan industrialisasi, perumahan dan Kawasan bisnis lain.
Pada aras policy kita telah menjumpai fakta politis di masa kekuasaan Cellica Nurachadiana memaksa hak dan fungsi lahan pertanian milik rakyat diatur sedemikian rupa melalui Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2018 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Perda tersebut mengatur tentang luasan dan lokasi lahan pertanian yang boleh dan tidak boleh dialih fungsikan.
Atas sejumlah konsekwensi yang muncul Perda LP2B ini memang perlu ditinjau ulang dengan menggunakan pendekatan keadilan agraria dengan mengurai segala permasalahanya. LP2B dengan konsekwensi alih fungsi bukan sekedar masalah masa lalu dipemerintahan Dadang Mukhtar, Ade Swara dan Cellica, juga di masa kini tata agraria masih merupakan masalah pokok kabupaten ini yang belum ditemukan cara mengatasinya, sedang jalan keluar masalah tersebut akan sangat menentukan masa depan para petani.
BACA JUGA:DPRD Karawang Resmi Dilantik, Endang Sodikin Terpilih Sebagai Ketua
BACA JUGA:Tensei Shitara Slime Datta Ken Season 3 (Tensura S3) Episode 22: Tanggal Rilis dan Tempat Streaming
Berikut saya coba ajukan sebuah gambaran ekonomi pada usaha tani padi yang memiliki implikasi terhadap alih hak dan alih fungsi. Produksi gabah dalam 1 hektar sawah teknis menghasilkan 5,7- 6 ton gabah, bila dengan asumsi harga (fluktuatif) Rp. 6.000/kg maka dalam satu hektar menghasilkan Rp. 36.000.000. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar Rp. 15.000.000/hektar maka pendapatan bersih petani sekitar 21.000.000/hektar dalam setiap musim tanam atau sekitar Rp.3500.000 per bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: