Agar bisa sedikit membantu kelancaran berpikir Muhammad Gunawan yang tersumbat tendensi politik ada baiknya penulis memungut contoh empirik penguasaan lahan pertanian oleh orang luar Karawang (absentee) dengan skala luas. Desa Solokan menjadi suatu tinjauan dalam realitas tata kuasa tanah-tanah pertanian amat ekstrim yang layak kita angkat kepermukaan.
Dari sekitar 700 hektar total luas baku lahan pertanian 80% nya dimiliki/dikuasai oleh orang luar kabupaten Karawang. Para pemilik sawah tersebut tidak mengelola sawahnya sendiri melainkan disewakan kepada petani setempat dengan nilai sewa berkisar antara 7-8 juta/hektar pada setiap musim tanamnya. Bila luas lahan guntai mencapai 560 hektar maka terhitung 3,9 miliar uang dalam sistem sewa lari ke luar Karawang setiap musim tanam atau 7,8 miliar dalam satu tahun.
Sedangkan para petani setempat harus rela menjadi penyewa dengan hitungan nilai pendapatan perhektar: bila dengan asumsi harga (fluktuatif) Rp. 6.000/kg maka dalam satu hektar menghasilkan Rp. 36.000.000. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar Rp. 15.000.000/hektar dan Biaya sewa sebesar Rp. 7.000.000 maka pendapatan bersih petani sekitar 14.000.000/hektar dalam satu musim tanam atau Rp. 2.300.000 perbulan.
Studi kasus mengenai realitas ekonomi petani dari sejak lama baik dimasa bupati Ade Swara maupun Cellica tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang melalui kebijakan penertiban tanah-tanah absentee. Anehnya, Muhammad Gunawan mendisclaimer dosa-dosa kedua mantan bupati itu dengan cara menilai pasangan Aep-Maslani tidak memiliki komitmen pada pertanian berkelanjutan. Namun ia tidak sama sekali memberikan penjelasan ilmiah/teoritis tentang bagaimana reforma agraria merombak tata kuasa atas tanah-tanah pertanian dapat menemukan kohesifitasnya bersama daya dorong peningkatkan produktivitas sektor pertanian.
3. Menepuk air didulang, terpercik muka sendiri
Kebijakan alihfungsi lahan yang bergerak simultan dengan tata kuasa lahan-lahan pertanian bercorak menghisap dan feodalistik telah berlangsung menyejarah di Kabupaten Karawang ini merentang dari era kekuasaan Ade Swara sampai kekuasaan Cellica.
Terlebih di masa kekuasaan bupati Ade Swara selaku orang tua Gina (calon wakil bupati) alih-alih mengintrodusir kebijakan reforma agraria, Ade Swara dan istri malah menyalahgunakan kekuasaannya dengan menjadi koruptor. Dengan tanpa kejujuran pikiran upaya Muhammad Gunawan dalam memengaruhi ruang-ruang publik untuk tujuan melucuti pamor pasangan Aep-Maslani justru secara tidak langsung ia mengekspos kebodohannyanya sendiri melalui tulisan lepas yang tidak ilmiah sekaligus mengekspos prilaku kekuasaan para mantan bupati dan Acep Jamhuri sendiri semasa menjabat sekda Karawang dalam kerangka policymaker yang gemar mengeluarkan izin alih fungsi lahan serta asing dari nilai-nilai luhur reforma agraria. (*)