BACA JUGA:Soal Program CSR, Jababeka Borong Dua Pengharagaan Sekaligus dari Pemkab Bekasi
– Istri ayah (ibu tiri),
– Ibu mertua (ibu dari istri)
– anak perempuan dari istri (anak tiri),
– menantu wanita (istri dari anak)
Khusus mengenai kemahraman yang terjadi antara seorang laki-laki dengan ibu dari istrinya, ulama fiqih dari empat madzhab besar, yakni Al-Hanafiyyah, As-Syafi’iyyah, Al-Malikiyyah dan Al-Hanabilah bahwa kemahraman antara seorang laki-laki dengan ibu mertuanya bisa terjadi jika ia dan istrinya pernah berhubungan suami istri dengan sah.
BACA JUGA:Parah! Pemuda di Lampung Berulang Kali Perkosa Ibu dan Adik Kandung Sendiri
Artinya mereka pernah berjima’ setelah akad nikah yang sah terjadi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 36, hal 213)
Akan tetapi, para ulama fiqih diatas berbeda pendapat mengenai laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan akad nikah yang sah, lalu tak lama kemudian menceraikan istrinya, atau istrinya meninggal sebelum mereka pernah melakukan hubungan intim. Apakah dalam hal ini laki-laki itu tetap menjadi mahram mu’abbad bagi ibu mertuanya atau tidak?
Begitu juga mengenai seorang laki-laki yang pernah berjima’ atau berhubungan intim dengan seorang wanita, namun diluar pernikahan yang sah (berzina). Apakah jima’ yang pernah terjadi diantara mereka berdua itu menyebabkan di laki-laki menjadi mahram bagi ibu dari wanita yang ia zinai? **